Berbagai macam strategi ditempuh, meski hasilnya tak seberapa. Tapi mereka sebagai oposisi layak untuk diacungi jempol. Itung-itung buat penyeimbang Ormek mayoritas yang dalam hal ini sebagai petahana. Mereka tak bosan-bosannya mengkritiki setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh petahana. Meski terkadang juga tak solutif dan hanya luapan ekspresif.
Kampus memang ibarat layaknya sebuah negara yang punya segala keruwetan dan kelucuannya. Di antara maba-maba yang masih unyu-unyu dengan tingkah polosnya.
Ormek turut mewarnai intensitas suasana kampus yang kadang memanas, terutama ketika pemilihan pimpinan organisasi internal kampus. Menjadi hal yang seru bagi saya yang netral ini berposisi sebagai pengamat yang mengamati setiap gerak-gerik mereka.
Dilain sisi, boleh dibilang ikut Ormek memang banyak sekali manfaatnya. Mulai dari pengalaman, pertemanan, ilmu bisa didapatkan. Tapi negatifnya ya itu, ketika aku dan kamu tak bisa bersatu antara satu sama lain, maka tak ada lagi kata kita. Cyeeh... ngebucin.
Saya membayangkan bagaimana jika semua Ormek ini bisa bersatu, memanifestasikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pasti lebih terlihat adem dan harmoni, saling menghargai dalam perbedaan. Bukan terus berseteru dalam kepentingan. Meskipun kalau boleh jujur, bayangan saya terlihat sangat utopis untuk diwujudkan.
Padahal jika mereka bersatu dan berani tampil menjadi barisan oposisi yang totalitas melawan kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat seperti akhir-akhir ini yang bermunculan undang-undang bangsat. Spirit 98 akan bisa bangkit kembali. Bukan cuma ikut-ikutan aksi demonstrasi bayaran yang digunakan sebagai alat politik bagi yang berkepentingan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H