Malang, 18 September 2019. 23:59
Oleh: Fatwa Azmi Syahriza (@fatwazmi)
Ketika Tuhan menciptakan manusia dengan 'mantra' Kun Fayakunnya, manusia telah didaulat menjadi khalifah yang bertugas dengan khilafahnya di muka bumi ini.Â
Manusia telah dihukumkan Tuhan untuk mengemban beban yang makhluk lain mengundurkan diri untuk menunaikannya. Dengan alasan diciptakan Tuhan menjadi makhluk yang paling sempurna, manusia dianggap lebih mulia dibanding makhluk lainnya.Â
Bahkan, seperti yang terdapat dalam kisah di zaman Nabi Sulaiman AS tatkala meminta rakyatnya memindahkan singgasana Ratu Bilqis, seorang manusia sepuh berhasil mengalahkan jin dan mengukuhkan kehebatannya dibanding jin tersebut.
Sudah semestinya dalam diri khalifah terdapat berbagai elemen akhlakul karimah yang lebih. Jika ditanyakan tentangnya, tentunya sifat-sifat seperti Adil, Jujur, dan Taqwa akan menjadi jawaban yang tepat.
Berbagai kisah tentang para pemimpin adil sudah bertebaran dan menjadi kisah yang klasik di dengar. Kembali ke zaman Nabi Sulaiman AS dimana terdapat kisah perselisihan antara dua orang ibu yang mengakui satu bayi sebagai anaknya. Mereka saling berdebat hingga muncullah keadilan Nabi Sulaiman AS sampai singkat waktu beliau dapat menentukan sang ibu yang sebenarnya.
Adil tak hanya semata-mata sama berbagi rata, karena pada hakikatnya adil lebih jauh diartikan sebagai menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya. Kata 'sesuai' menjadi kunci utama dalam pengertian tersebut. Menyesuaikan penempatan sesuatu.
Dalam berbagai garis waktu perjalanan hidup, akan ada yang namanya Utara dan Selatan yang senantiasa tak bisa disatukan. Mulai dari perbedaan yang bersifat umum seperti pandangan politik hingga lingkup terkecil berupa diaduknya bubur atau dibiarkan sesuai dengan penyajiannya.
Bukan hanya itu, dalam dunia pendidikan pun yang namanya perbedaan marak adanya. Seperti contoh adanya Bashrah dan Kuffah menjadi ujian bagi para peserta didik yang menggeluti ilmu agama khususnya dalam bidang Nahwu.
Berlembar-lembar halaman dalam Syarh Alfiyah Ibn Aqil seringkali membahas perbedaan yang ada di antara mereka. Perdebatan antara Fiil Madhi dan Mashdar menjadi salah satu contoh yang hingga kini masih dibahas di berbagai kajian. Tak hanya perbedaan dari 2 arah, terkadang ada pendapat as-Shanhaji dan al-Farra' serta imam nahwu lainnya yang menambah warna dalam disiplin ilmu pan nahwu.