Efektifitas atau Efisiensi hukum jadi sebenarnya adalah orang melakukan sesuai ketentuan norma hukum juga mereka harus membuat, bahwa norma itu benar ditetapkan. Objektifitas dari hukum ini mula muncul kata efektif yang berarti tercapainya keberhasilan sampai mencapai tujuan yang sudah tentukan.
Basic kinerja hukum adalah para masyarakat, jadu hukum akan mempengaruhi oleh faktor atau kekuatan sosial dimulai dari cara pembuatan hingga dengan pemberlakuan. Kekuatannya sosial akan bisa masuk dalam setiap progres legislasi setara efektif dan efisiensi.
Ada juga dari pendekatan sosiologi hukum ekonomi syariah yaitu jual beli, dimana juga penjual dan pembeli yang mempunyai barang dan memikirkan kesepakatan bersama
Pendekatan sosiologis kajian hukum Islam berguna untuk mendapatkan pengetahuan lebih dalam mengenai masalah sosial yang melingkupi hukum Islam, sehingga memperluas pengetahuan tentang hukum Islam serta dapat membantu memahami dinamika hukum Islam. seperti Tawsiyah, seorangan dari anggota non-Islam dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Seorang Ulama juga mentakidkan bahwa didalam tawsiyah ada masalah di hukum Islam dikarenakan buku fiqh biasa berisi permasalahan mengenai al-Qada' / sistem politik negara.
tidak asing kita mengetahui istilah Hukum Indonesia tajam kebawah dan tumpul ke atas. Arti dari sebutan ini adalah suatu realita bahwasanya peradilan di negara ini tidak seimbang menghukum masyarakat bawah dari pejabat tinggi. realita hukum justru timbul untuk merusak kaum masyarakat bawah dan menyanjung elit. Lembaga penegak hukum berbanding membiarkan realita di masyarakat ketika mengadakan hukum yang ada. Sebab ini membuat penegak "hukum" hanyalah menjadikannya corong aturannya. Juga tidak lain adalah dampak dari program pendidikan hukum yang positivisme. Penegasan hukum mungkinkah terkesan tanpa jiwa nurani dan pikiran sehat, tetapi mereka mempunyai jiwa yang tinggi dalam mensupport nilai keadilan Penegasan hukum di negri ini.
Hukum progresif yakni landasan lanjutan yang tergagas oleh Prof. Satjipto Rahardjo, mempunyai pendapat hukum yang dibuatnya untuk manusiawi, bukan manusia untuk hukum. Hukum progresif tidak dilihat dari prespektif hukum itu, tetapi dari tujuannya sosial dan berakibat yang mengalirkan dari bekerjanya hukum.Â
Pendekatan hukum progresif sangat diminati sejak diadakannya mulai tahun 2002 karenanya dipandang sebagaimana ancangan alternatif di tengah positivisme hukum. Hukum progresif sudah ada sejak tahun 2002, tetapi assessment masih belum menjadikannya tujuan untuk bisa ditetapkan pada tujuan. Hukum progresif tidak menerima dan tidak mau mendiamkan status quo dalam hukum, terlebih kondisi itu dapat membuahkan suasana dekadensi dan tidak bermanfaat kepada masyarakat.
Progressive law atau hukum progresif muncul akibat hukum dinilai tajam ke bawah dan tumpul ke atas karena dianggap tidak adil bagi semua kalangan masyarakat.Â
Hukum progresif adalah konsep yang tidak terpaksa pada konsep Undang-Undang saja, tapi juga memerhatikan rasa adil untuk hidup di dalam masyarakat. maka dari itu, hukum progresif ini melatarbelakangi dari dasar filsafat hukum progresif yakni hukum yang membebaskan dan hukum yang berkeadilan.
Tujuan hukum progresif yaitu membawa masyarakat kekehidupan yang adil, sejahtera, serta membuat tentram. Seperti yang tercantum didalam Pancasila, sila ke-2 dan ke-5, dari hal itu, hukum progresif muncullah dari rasa ketidakpuasan kalangan ahli hukum terhadap teori dan praktik hukum yang tidak berkeadilan. Hukum Progresif mempunyai landasan filsafatnya sendiri, yaitu filsafat manusia, realisme, filsafat proses dan kritisism ala modernisme konstruktif. Filsafat manusia terlihat di pemahaman bagi manusia sebagai "pusat" dari progresivisme.
Terbitnya gagasan itu bermula dari kekhawatiran akan lemahnya hukum dan ketidak puasan masyarakat akan fungsinya hukum dan pengadilan. Status hukum sebagai lembaga etika, publik mengintegrasikan ide, keinginan dan cita-cita moral ke dalam hukum, sehingga masyarakat mengharapkan pengadilan menjadi "benteng terakhir keadilan".Â