Kalau kita perhatikan setiap kemasan obat baik yang berbentuk sirup , tablet maupun pil biasanya disana akan tertera beberapa informasi mengenai produk antara lain komposisi, aturan pakai, indikasi dan kontra indikasi. Selain itu juga akan diinformasikan mengenai tanggal produksi dan tanggal kadaluarsa dan yang menarik karena berbeda dengan produk lain dikemasan obat biasanya juga mencantum harga eceran tertinggi yang disingkat (HET). Yang menjadi pertanyaan penulis sebagai konsumen adalah siapakah yang memberikan patokan mengenai harga eceran tertinggi itu apakah produsen, pihak penjual atau pemerintah? Jika Het sudah ditentukan apakah pihak pengecer boleh menjual obat tersebut diatas HET. Berdasarkan pengalaman kami dalam berbelanja harga obat disetiap apotek berbeda-beda ada yang menjual tidak melebihi HET namun ada juga menjual lebih tinggi walaupun selisihnya tidak terlalu besar. Sebagai contoh beberapa yang lalu kami membeli obat di apotek kimia farma dikemasan obat tertulis harga eceran tertinggi Rp 51.400 namun dijual dengan harga Rp. 56.000 padahal diapotek lain dijual hanya seharga Rp 50.000 dan ada juga obat berbentuk sirupdengan HET Rp. 7.400 dijual dengan harga Rp. 10.752.
Selain masalah harga tersebut seringkali jika membeli obat di apotek dengan menggunakan resep dokter biasanya kemasan obat tersebut tidak diberikan bahkan kalau bisa merek obat dihilangkan dengan cara memotong stri obat menjadi bagian-bagian kecil atau jika obat berbentuk sirup dosnya tidak diberikan bahkan labelnya diganti dengan label apotek. Padahal sebagai konsumen tentu kita berhak mendapatkan informasi mengenai produk yang kita beli sehingga lebih meyankinkan ketika digunakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H