Mohon tunggu...
Faturahman Djaguna
Faturahman Djaguna Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta, | Wakil Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta

Menulis dan Membaca, kajian dan diskusi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ibu, dan Aku dalam Kata Maaf

26 September 2024   04:06 Diperbarui: 26 September 2024   12:22 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Sumber Foto Pribadi, ketika makan sama ibu

Ketika pagi tiba aku merindukan ibu, merindukanya dari jarak yang penuh kejahuaan. Di tengah kegelisahaan. Mengingat dosa diri yang tak kunjung usai, yang mungkin sedikit menggores hatinya. Lewat tulisan ini aku bermunajat kepada sang Khalik Maha kuasa seraya memohon ampunaan atas bahasa yang mungkin menyinggunya.

Oh Tuhanku, aku tidak bermaksud untuk menggores hati malaikat ku (Ibundaku). Yang mungkin saat ini ada rasa kecewa atas bahasa yang tidak sengaja aku tuliskan pada sebuah ststus ku dalam salah satu media sosial.

Tuhanku, engkau lebih tau dari segalanya atas niat dan tindakan seorang hamba, aku tidak pernah mempunyai niat apalagi tindakan, yang merugikan orang yang penuh dengan kasih sayang terhadapku.
Ibu adalah anugrah yang engkau berikan yang tak mampu di nilai oleh angka dan rumus apapun. Ibu adalah sosok malaikat yang kau hadirkan dalam kenyataan, mimpi yang menjadi nyata.

Aku terus merasa berdosa atas apa yang terjadi saat ini, sekalipun tidak ada satupun niat untuk menyinggunya. Aku mohon kepadamu, tempat dimana aku bersandar dalam kondisi bagaimanapun.

Di setiap sejud nama ibu dan ayah ku bawa dalam setiap iringi doa yang keluar dari setiap lisan untuk mengangkat drajat orang tuaku. Tuhan samapikan isi hati ku kepadanya, bahwa aku tidak memiliki sedikit keburukan terhadapnya.

Aku bukan Malin Kundang

Dalam mitos Nusantara, Malin Kundang menjadi sosok yang dilaknat karena melupakan asal usulnya. Ia mengingkari ibunya, menghianati kebaikan yang telah mengasuhnya dengan cinta tanpa syarat.

Dalam legenda itu, seorang ibu yang kecewa dan sakit hati mengutuk anaknya menjadi batu sebagai hukuman atas pengkhianatan tersebut. Namun, aku bukanlah Malin Kundang. Aku tidak pernah melupakan siapa dirimu, Ibu, meski terkadang aku tersesat dalam pilihan kata dan bahasa yang tak jarang menyinggung hatimu.

Jika Malin Kundang hanyut dalam gelombang kekayaan dan status, maka aku bukanlah demikian. Meski aku merantau, mengejar mimpi-mimpi yang seakan jauh dari pelukanmu, aku tetap membawa nama dan doamu di setiap langkah. Namun, Ibu, hidup dan perjalananku yang berliku sering kali membuatku harus tegas, harus memilih jalan yang mungkin tak kau mengerti. Terkadang, bahasa yang kugunakan tak sehalus kata-katamu ketika mendidikku. Maafkan aku jika kalimat-kalimatku menusuk hatimu, tapi ketahuilah bahwa di balik setiap kata, tetap ada rasa sayang yang tak berubah.

Bahasa adalah jembatan, namun juga bisa menjadi jurang. Ketika aku berbicara keras, itu bukanlah tanda aku mengabaikanmu. Ketika aku tak setuju dengan pendapatmu, itu bukan karena aku tak lagi menghormatimu. Sebaliknya, aku ingin agar kita memahami satu sama lain, tanpa rasa tersinggung atau terluka. Dunia yang kutinggali kini penuh dengan perubahan, Ibu, dan aku harus belajar beradaptasi. Dalam proses itu, terkadang bahasa yang kugunakan tak lagi sama seperti saat aku masih kecil, ketika semua hal terasa lebih sederhana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun