Mohon tunggu...
Fatris MF
Fatris MF Mohon Tunggu... profesional -

Lelaki bersahaja ini mengisi hari-harinya dengan membaca dan minum kopi. Bekerja sebagai pendongeng yang berpindah dari satu pulau ke pulau lain di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Mengunjungi Nguyen di Pulau Galang

8 Desember 2012   06:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:00 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Fatris MF

Lewat jendela pesawat, gugusan pulau-pulau kecil di perairan Batam itu seperti kepingan surga yang dijatuhkan ke bumi. Di abad ke-18 pulau-pulau itu masih merupakan tempat persinggahan para lanun, para perompak lautan. Mereka membangun markas-markas penyimpanan di sana, mengikat perjanjian-perjanjian untuk tidak menginjak daratan. Bagi mereka, pulau-pulau kecil bukanlah daratan. Sebab, daratan adalah ketika kau tak bisa melihat lautan, tak dapat mendengar debur ombak, merasakan angin. Daratan bagi mereka adalah benua.

Entah dari mana para perompak laut itu datang. Orang kata dari Mindanao. Atau pulau-pulau kecil antara Philipina dan Sulawesi. Tak jelas. Yang pasti, mereka adalah para pelaut ulung, yang berangkat bersama  angin yang bergerak sekali semusim. Angin dari utara benua yang menyerong terus ke barat daya. Orang Melayu menyebutnya angin samun, angin yang membawa para penyamun para lanun. Mereka merompaki kota-kota pesisir timur dan kapal-kapal dagang yang melintasi Malaka. Mereka akan pulang di musim yang lain, ketika angin berbalik arah. Sambil menunggu, mereka menginap di pulau-pulau yang seperti gumpalan hijau  dilemparkan dari langit, walau telah banyak yang tandus.

Di antara gugusan pulau-pulau kecil itu, ada sebuah pulau yang menjadi tujuan utama kunjung saya. “Kalau kau sempat ke pesisir timur, jangan lupa ke Pulau Galang. Di sana kau akan tahu arti filosofi kuno Melayu: Jika takut mati berarti harus berani hidup!” kata seorang dosen kepada saya. Dulu sekali, ketika masih duduk di bangku kuliah. Dan sebentar lagi pesawat yang saya tumpang akan mendarat. Kini nasehat dosen saya itu akan mendapat momentumnya untuk saya buktikan.

Angin berkesiur kencang ketika saya sampai di Bandara Hang Nadim, Batam. Betul-betul cuaca wilyah kepulauan. Tak lama, seorang teman mengirim pesan singkat ke telpon genggam saya: “kalau kau di Batam, kau adalah urusanku.” Saya tak tahu persis apa maksudnya, barangkali ia ingin melayani saya; teman yang telah puluhan tahun tak pernah bertemu kini mendapat kesempatan untuk bersua. Tapi kami hanya bertukar kabar lewat pesan pada telpon genggam. Dan kali ini saya enggan membalasnya. Saya ingin sendiri di kota ini, kata saya dalam hati. Membiarkan diri tersesat di belantara kota ini tentu tak ada salahnya. Untuk menemukan sesuatu yang baru, kadang kita butuh teresat, bukan?

Hujan yang turun membuat malam datang lebih awal dari biasanya. “Hujan mempercepat kelam,” tulis Chairil dalam sebuah sajak. Dan benar saja, langit kota Batam telah diselimuti kelam bulan April. Tanpa berpikir panjang lagi, saya menyetop taksi.

Malam di Batam adalah raung mesin dan derap sepatu ribuan buruh pabrik yang pulang dengan dentang lonceng dan deru sirine. Saya tak tahu bagaimana orang-orang bertahan hidup di kota industri ini, kota yang tidak mengenal jam malam. Karyawan pabrik pulang-pergi, bergantian jam kerja. Dentuman musik dari klub malam, gemerlapan kota yang tak ada matinya, terdengar menyelinap jendela taksi yang saya biarkan terbuka. Kota ini seperti tak pernah tidur, dan memang tak pernah tidur. Namun, saya yakin, dari cerita dan kisah-kisah lama orang-orangnya, betapa banyak keindahan yang disimpannya, begitu dalam rahasia yang ditanggungnya.  Seberapapun majunya sebuah kota, ia tak akan bisa benar-benar terlepas dari mitos dan cerita, juga beban dan derita.

“Ini Bukit Senyum, tak perlu singgah di sini. Dari seratus orang di sini sembilan puluh tiganya adalah orang jahat,” kata supir taksi yang saya tumpangi menunjuk pada sebuah bukit landai yang ketika malam rumah-rumah di pinggangnya gemerlapan oleh lampu. Saya tertawa, dia tertawa. Taksi melaju kencang, membelah gelap malam. Saya sampai di penginapan.

***

Pagi yang berisik, pelabuhan Sekupang penuh  orang yang hendak berangkat ke berbagaipulau. Perahu-perahu kecil bermesin tempel yang memuat sepuluh penumpang itu saling meraung, saling menikung. Masyarakat di sini menyebutnya pancung. Pancung-pancung ini telah ada sejak puluhan tahun silam. Ia merupakan sarana transportasi yang menghubungkan pulau kecil satu ke pulau kecil lainnya. Ratusan jumlah pancung itu. “Sebelum orang Vietnam terdampar di Galang, pancung ini telah ada,” kata seorang tekong (sebutan untuk nakhoda pancung) kepada saya.

Orang-orang Vietnam? Terdampar? Saya seperti mendengar sebuah bisikan dengan bahasa yang tidak saya ketahui. Saya seperti terlempar ke lembaran-lembaran novel yang ditulis seorang penulis terkenal di Vietnam. Saya ingin kembali ke kisah dalam lembar-lembar novel itu. Kisah  seorang gadis kecil bernama Nguyen, yang terdampar di Pulau Galang bersama ribuan orang lainnya yang lari dari perang di Vietnam.  Vietnam yang seperti neraka, dan ribuan orang memilih lari dari negara petani itu dengan perahu. Ribuan manusia perahu berlayar tanpa kompas, tanpa penunjuk arah dan haluan. Terkatung-katung di laut lepas terdampar di Malaysia dan diusir. “’Indonesia di sana,’ kata seorang prajurit angkatan laut Malaysia melepas telunjuk ke laut lepas”—begitu kira-kira satu kalimat yang saya ingat dari novel itu. Akhirnya orang-orang perahu itu terdampar di pulau Galang dengan tubuh yang teramat lemah karena terombang-ambing di lautan tanpa bekal yang cukup, bahkan ada yang sampai sebulan di lautan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun