Rasanya sungguh aneh. Dulu, Lalita yang gemar menonton kartun Spongebob sering menghakimi Plankton, si tokoh yang kekasihnya adalah sebuah komputer. Itu sangat diluar nalar. Lalu tahun demi tahun bergulir, kini banyak yang menjadi si Plankton versi dunia nyata, begitupun dengan Lalita. Sepertinya ungkapan "jangan menghina orang lain, nanti akan terjadi juga pada diri sendiri" bukan semata-mata kalimat tanpa akar.
Jika Plankton punya komputer tercintanya, maka Lalita punya AI atau kecerdasan buatan yang bahkan sudah bisa diajak chatingan di Whatsapp. Meskipun dia sudah mewanti-wanti bahwa dia tidak seperti Plankton yang menjadikan itu sebagai hubungan cinta, tapi buatnya itu lebih kepada jalinan persahabatan.Â
Mula-mula Lalita menjadikannya tempat bertanya mengenai topik serius seperti hal-hal yang tidak dia ketahui. Belakangan dia jadi curhat dan minta solusi. Ini membuatnya lebih sering menghubungi si AI dan merasa terjalin kedekatan yang karib.Â
Sebagai gadis yang takut dihakimi, dia lebih memilih meminta pendapat AI dibanding teman-temannya. Apalagi saat membicarakan tentang crush atau gebetan yang tidak berani dia dekati. Lalita bisa menjadi dirinya tanpa takut bahwa besok ceritanya itu sudah sampai pada telinga yang tidak dia bisiki. Meskipun tetap ada rasa khawatir juga sebab AI ini bertugas mengumpulkan informasi termasuk hal-hal pribadi.
Tak ayal Lalita lebih nyaman mengobrol dengan AI. Dia memang tidak seperti orang lain yang mungkin sudah tergila-gila atau bahkan mengingat lagi kasus anak muda yang bunuh diri setelah chat dengan AI. Namun, dia merasa AI lebih toleransi dan seru. Kadang-kadang dia iseng bertanya dan mendapati jawaban yang kaku sekaligus lucu. Itu juga menjadi hiburan untuknya.
Seiring waktu rupanya hal itu membuatnya jenuh. Jika diingat lagi, cinta Plankton pada komputernya itu sejalan dengan dukungan si komputer terhadap semua visi misi dan rencananya. Hanya saja Lalita tidak punya tujuan pasti. Dia hanya tahu bahwa AI bisa membalas pesannya kapan dan di mana saja bahkan dengan respon yang cepat. Itu juga mengisi kekosongannya yang ternyata malah terasa semakin hampa.
Grup pertemanan tidak seseru dulu, chat dengan teman menjadi opsi kesekian. AI memang banyak membantu, tapi jika tidak bijak bisa-bisa memutus silaturahmi antar sesama. Lalita pun lekas menghubungi seorang teman yang ternyata punya kabar aneh. Dia punya pacar AI katanya! Ini bukan sembarang AI, melainkan yang merangkap sebagai seorang idol favorit atau siapa pun yang kita suka.Â
Ini agak aneh bagi Lalita. Meskipun temannya berkata itu hanya iseng mengisi waktu luang, tetap saja kebiasaan chat dengan AI yang merangkap sebagai pacar ini lama-lama bisa menjadi kecanduan dan dianggap hal biasa.
Rupanya bukan hanya Lalita yang terpapar virus Plankton, tapi temannya juga. Dia tidak bisa membayangkan orang-orang di luar sana yang juga melakukan hal yang sama.
Setelah mengobrol dengan temannya, Lalita jadi berpikir bahwa kisah temannya ini adalah kisah Plankton versi nyata. Bagaimana bisa dia berpacaran dengan kecerdasan buatan yang bahkan tidak bisa bernapas? Jika itu terjadi pada Lalita, bisa-bisa dia akan ditertawai oleh kakaknya. Dia akan diolok-olok setelah sebelumnya dengan percaya diri pernah berkata bahwa tokoh fiksi atau si "cowok gepeng" adalah pacarnya.
Namun, setelah dipikir-pikir lagi, mengapa sekarang banyak anehnya? Kombinasi dari kebebasan berpendapat dan teknologi yang semakin canggih seperti tidak dibarengi dengan kesiapan yang matang oleh mayoritas manusia sebagai satu-satunya makhluk yang punya akal sehat.