Mohon tunggu...
fatrisia
fatrisia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Menulis fiksi ringan sebagai hobi selingan. Ig @inifatrisia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Lebih Baik Pindah Daripada Hidup Menderita

25 Desember 2024   19:54 Diperbarui: 25 Desember 2024   20:03 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru-baru ini Ida dilamar oleh sang kekasih, Farid, yang selama ini menghuni ruang hatinya. Ida selalu senyum-senyum sendiri setelah kejadian itu, apalagi malam nanti Farid akan datang bersama keluarganya untuk musyarawah terkait tanggal pernikahan. Ida sudah yakin awal tahun nanti mereka akan resmi menjadi pasangan suami istri dan dia sudah tidak sabar untuk memamerkan itu di sosial medianya. Namun, rupanya segalanya tidak selalu berjalan sesuai rencana.

Musyarawah itu cukup menegangkan. Sebagai anak satu-satunya perempuan, pihak keluarganya mengharapkan uang lamarannya tinggi. Terlebih sebagai orang yang tinggal di pedesaan, pernikahan yang ada banyak adatnya itu cukup kental dibandingkan dengan Farid yang dari perkotaan dan cukup fleksibel. Tentu itu memerlukan nominal yang tidak sedikit.

Masing-masing keluarga sepakat bahwa pernikahan akan dilangsungkan di bulan keempat awal tahun nanti sesuai kesanggupan calon mempelai. Ida merasa itu terlalu lama dan dia hanya bisa menahan tangis dan kesalnya. Dia mempertanyakan banyak hal. Sebagai generasi Z yang tidak terlalu ingin menjadi ratu semalam dan menghambur-hamburkan uang, dia lebih baik melangsungkan pernikahan di kantor agama yang tentu menghemat bujet. Mungkin jika para tantenya mengetahui itu, bisa-bisa Ida diceramahi habis-habisan. Tantenya dengan tegas akan berkata bahwa adat adalah sebuah keharusan terlebih dia adalah anak perempuan satu-satunya. Pernikahan sesuai adat  tentu bukan hanya untuk membungkam mulut ibu-ibu julid, tapi lebih khususnya agar kehidupan pernikahan akan baik-baik saja sebab adat istiadat itu punya tujuan mulia.

Farid berusaha menenangkan kekasihnya. Bahwa sebagai anak mereka harus mengikuti saran dari tetua, demi kehidupan pernikahan dan hubungan keluarga yang baik-baik saja. Terkait biaya, dia juga cukup pusing. Sebagai guru honor dengan gaji yang kurang, dia butuh pekerjaan sampingan lainnya yang lebih menghasilkan. Kalau tidak, bisa saja mamanya akan menggadaikan cengkeh di kampung mereka demi menambah biaya pernikahan.

Belum selesai perkara itu, kini Farid makin pusing setelah ada berita pajak akan dinaikan di awal tahun. Harga-harga akan naik dan itu tentu kabar buruk. Bisa jadi biaya pernikahan juga akan naik. Di tengah himpitan ekonomi ini rakyat kecil malah makin dibebani. Padahal berita korupsi di mana-mana dengan hukuman penuh remisi. Astaga, rasa-rasanya Farid ingin pindah negara.

Kota kecilnya yang fasilitas umumnya kurang, jalanan banyak yang makin rusak, hingga pertumbuhan ekonomi yang stuck, seperti menambah beban pikiran selain tentang rencana pernikahannya. Usahanya yang dulu menjual kopi bahkan sampai tutup dan kini di situasi yang membutuhkan uang tambahan, dia tidak yakin usahanya untuk menjual kopi lagi bisa menjadi solusi, yang ada malah dia akan merugi.

Ingin rasanya melamar pekerjaan di perusahaan-perusahaan menuruti kata orang biar gelar sarjananya itu lebih berguna. Namun, sejumput syarat melamar kerja itu hampir membuatnya asma. Harus bisa ini dan bisa itu apalagi pengalaman minimal sekian tahun, dia bisa apa? Orang dalam saja tidak punya.

Membicarakan itu dengan Ida ikut membuat sang kekasih pusing tujuh keliling. Rezim ini sungguh kejam. Terlalu banyak mengatur tanpa memberi solusi.  Mereka hanya sepasang kekasih yang jatuh cinta dan ingin menikah, tapi di situasi ekonomi seperti ini mereka bisa apa? Berutang hanya akan memperpanjang derita.

Lebih dari itu, pernyataan seorang menteri negara yang menyuruh rakyat untuk keluar saja dari negara ini jika tidak setuju dengan kenaikan pajak membuat Farid mencak-mencak. Dia mulai yakin bahwa melangsungkan pernikahan di Mars dan tinggal di sana sepertinya lebih masuk akal dibanding bertahan di sini dengan segala drama dari politisi yang menjual nama rakyat demi sebuah upeti.

Meski begitu, diam-diam Farid mulai mengajak Ida untuk mengurus visa. Dia akan berusaha mencari uang demi pernikahan terlaksana dengan baik dan lancar. Lalu nanti akan segera mengajak Ida untuk mencari peruntungan di negara orang. Mengabdi di sini dengan beban kerja yang tidak sedikit, apalagi dengan situasi ekonomi, hukum, dan politik yang kacau, tidak menjanjikan kehidupan rumah tangga yang stabil. Mereka cinta negara, hanya saja mereka tidak yakin apakah pejabat negara ini juga punya cinta yang sama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun