Begitu meminjam buku "Malam Terakhir: Kumpulan Cerpen" karya Leila S. Chudori dari perpustakaan, saya yang belum ingin pulang ke rumah memutuskan singgah di sebuah kafe yang nuansanya tenang. Niatnya saya hanya ingin menikmati sepotong tiramisu yang beberapa hari ini terus terbayang dalam kepala. Namun, jeda waktu yang kosong membuat saya ingin membaca.
Saya baru saja menuntaskan cerpen pertama berjudul "Paris, Juni 1988". Buru-buru menegak habis caffe macchiato dalam cangkir, seolah-olah cerpen tersebut baru saja menampar saya yang kaget dengan ketajaman kritik sosial.
Disebutkan ada dua tikus yang dipelihara dan dikandangi oleh wanita pemilik apartemen. Lalu mendekati akhir cerita, dikarenakan rasa kasihan, si tokoh utama perempuan yang menyewa kamar selama sebulan di apartemen itu membebaskan salah satu tikus yang tak lama kemudian ditemukan tewas mengenaskan di parit. Sementara yang satunya masih hidup sehat dalam 'kandangnya'.
Lalu kalimat, 'Apakah ia justru tak bisa hidup dalam kebebasan?', membuat kepala saya berdenyut.
Memikirkan lagi saya, seseorang yang selalu ingin 'bebas'. Saya tahu bahwa kebebasan yang dibahas dalam cerpen tersebut mempunyai penyempitan makna, tapi bukankah orang-orang masa kini selalu menggembar-gemborkan 'kebebasan'? Saya bahkan salah satunya.
Saya butuh cermin. Saya ingin merenung. Apakah sebenarnya kebebasan itu dan apakah itu benar-benar simbol dari 'merdeka' yang diagung-agungkan? Sebab seperti dalam cerpen tersebut, realitanya banyak 'tikus' yang mati atau bahkan kehilangan identitas diri setelah mengaku 'bebas'. Saya hanya tidak ingin menjadi salah satunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H