Tupperware merah muda yang berisi nasi, tumis sayur wortel yang diiris tipis dicampur dengan kol, serta ayam kuah kaldu, telah menggemparkan Bu Marini. Ia marah-marah dan bahkan memilih mogok bicara dengan Pak Abidin, suaminya yang sudah sibuk duduk di boncengan motor sebab ada yang meminta bantuannya di kompleks sebelah.
Pak Abidin adalah orang terkenal di kampungnya. Sebut saja namanya, maka orang-orang akan langsung mengarahkan ke rumahnya, lurus dan belok kanan, tepat di rumah warna biru mentereng dekat kios kecil. Rumahnya yang berwarna biru agak besar, bukan biru yang kecil sebab itu rumah adik iparnya.
Pak Abidin ini bukan seseorang yang bergelar atau berpangkat tinggi, ia dihormati sebab kemampuannya yang bisa apa saja. Diminta tolong memperbaiki saluran pipa yang tersumbat, membersihkan kebun yang mulai banyak tumbuhan liar, bahkan mengecat rumah dan segala hal remeh-temeh lainnya. Datang saja ke rumahnya dan Pak Abidin dengan senyum lebar akan mengangguk mengiyakan apa pun selagi dalam batas mampunya.
Selain itu, ada hal paling penting. Ia tidak mematok harga alias bayar seikhlasnya. Bahkan kadang, jasanya hanya ditukar dengan sebungkus rokok. Namun, Pak Abidin selalu menerima dengan senang hati. Ia malah bahagia bisa membantu sebab baginya meringankan kesusahan orang lain adalah kepuasan tersendiri.
Berbeda lagi dengan istrinya, Bu Marini yang kerap marah-marah jika sang suami bahkan hanya dibayar dengan kata 'terima kasih'. Wanita pencinta warna biru itu sudah tidak tahu harus menasihati seperti apa, sebab suaminya tidak mengerti bahwa zaman sekarang jasa itu mahal. Andai mereka tinggal di kota besar, pastilah Pak Abidin tidak selugu ini, yang kadang-kadang istrinya sampai tidak bisa membedakan apakah itu karena terlalu baik atau terlalu bodoh.
Namun, rupanya upah berupa kata 'terima kasih' itu lebih baik daripada apa yang didapatkan Pak Abidin siang tadi, yang membuat Bu Marini marah-marah hingga tidak mau bicara. Makan siang dalam tupperware merah muda dari Bu Sadia adalah penyebabnya. Meski makanan itu diberikan sebagai imbalan telah membantu memperbaiki pagar rumahnya yang roboh, tetap saja rasanya aneh terlebih Bu Sadia ini seorang janda.
Mengapa harus tupperware merah muda? Seolah-olah ingin Pak Abidin merasakan cinta yang ikut dimasukkan dalam makanan tersebut. Lalu apa kata orang? Bagaimana pula Bu Marini harus menanggapi jika hal ini telah tersebar? Ini memusingkan. Apalagi makanan itu datang bersamaan dengan terasi yang baru saja selesai dimasak Bu Marini. Manalagi wadah berwarna biru yang menampung terasi tersebut sudah lecek, kalah bagus dengan tupperware merah muda yang masih segar dan klincong.
Ia jelas tersinggung. Mungkin ia masih bisa menerima fakta bahwa menunya kalah bergizi dan kalah enak dengan isi tupperware itu. Namun, masalah utamanya adalah harga dirinya sebagai istri dipertaruhkan. Sebagai perempuan, Bu Marini sungguh merasa tersaingi.
Ia tahu Bu Sadia itu orang baik sebab meskipun sudah tiga tahun menjanda, Bu Sadia tidak pernah mengalami puber kedua, bahkan dengan tegas menolak para duda atau yang masih beristri yang mencoba mendekatinya. Wajahnya yang menawan serta tutur kata yang halus membuatnya dicap sebagai janda terhormat. Bu Marini takut suami tercintanya itu akan tergoda. Sekelas Pak Rt saja bisa mengejar-ngejar Bu Sadia, apalagi hanya suaminya yang tidak punya jabatan apa-apa.
Pokoknya Bu Marini marah. Ia tidak mau bicara dengan Pak Abidin meski suaminya itu tidak menyentuh isi tupperware, anak merekalah yang telah menyantap habis dengan senyum sumringah.
Sementara itu, Pak Abidin yang baru sampai dari kompleks sebelah tampak bingung bagaimana memenangkan hati istrinya. Ia dengan sengaja meminta diantarkan hanya sampai di depan kompleks, sebab rasanya perlu berjalan kaki sampai rumah untuk bisa berpikir apa yang harus ia lakukan.