Mohon tunggu...
fatrisia
fatrisia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Menulis fiksi ringan sebagai hobi selingan. Ig @inifatrisia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Lelaki Bernama Kenangan

4 November 2024   14:20 Diperbarui: 4 November 2024   14:28 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tidak pernah meminta untuk dikasihani, kata gadis berkerudung hitam tatkala sayup matanya dianggap bercorak kesedihan. Barangkali orang-orang mulai berani menghardik dirinya yang dalam kurun waktu ini sukar sekali melebarkan senyum.

Bukan salahnya jika dia ditinggalkan. Cinta selalu memberi opsi, menjadi keluarga atau pisah, atau kedua-duanya, dan bahkan tidak kedua-duanya. Dalam hal ini, gadis yang sering disapa Siti tersebut berakhir luka, pisah. Mungkin dalam bahasa koran, paling-paling akan ditulis bahwa dia adalah korban putus cinta yang hatinya tewas mengenaskan.

Sementara orang-orang gemas sekali ingin menyadarkan, kalau boleh menggoyangkan bahunya sekeras mungkin dan ditambah satu tamparan di pipi agar Siti sadar. Bagaimana bisa gadis yang harum namanya di kampung ini tiba-tiba saja menjadi bunga layu yang suka menutup diri?

Jika tahu bakal seperti ini, pastilah orang-orang akan melarang kedatangan Dimas, lelaki tulen dari daerah sebelah yang kulitnya kecokletan, tapi kesannya seakan ditumpuki daki sebab ronanya yang pucat dan tak terawat. Bisa-bisanya dia jatuh cinta lalu pergi tanpa ada kata pisah hingga Siti jadi mempertanyakan diri sendiri. Sebegitu burukkah dia bersikap selama ini hingga Dimas enggan memberi satu kesempatan lagi untuk hubungan mereka?

Jangankan keluarga, bahkan sekampung merisaukan nasib Siti. Sudah berapa banyak ustaz yang dipanggil ke rumah untuk meruqyah, semuanya tidak berhasil, malah memperkuat rumor bahwa ada setan yang teramat kuat yang menempel di tubuh gadis itu.

Kakaknya, Jumriah, yang sudah menikah dan tinggal di kampung sebelah, bahkan mulai rajin datang ke rumah sebab mengkhawatirkan kondisi Siti. Dibawa ke puskesmas, katanya tidak ada yang sakit. Dipanggilkan dukun kampung, katanya ini sulit disembuhkan. Sebenarnya apa yang menimpa Siti? Bahkan kakak tertua mereka, yang pernah menjanda dan disakiti sedemikian rupa oleh mantan suami pertamanya, sakitnya tidak seperti ini. Masih bisa makan, tertawa, mengumpat, bahkan menjelek-jelekkan mantan suaminya yang suka main tangan itu. Lalu sebenarnya ada apa dengan Siti?

Sudah tiga bulan berlalu. Orang-orang mencoba mendatangkan Dimas, tetapi lelaki itu rupanya telah berpindah ke pulau seberang tanpa tahu bahwa seseorang yang pernah dia cintai sedang dikhawatirkan oleh seluruh warga kampung.

"Apa yang dia lakukan padamu, huh? Benarkah dia melakukan itu?" tanya Jumriah, sebab ibu mereka tak sanggup lagi menghadapi diamnya Siti. Ada rumor bahwa Dimas telah mengambil sesuatu yang berharga bagi perempuan dalam diri Siti, sehingga ketika ditinggalkan itu seperti aib memalukan, manalah sudi lelaki lain mendapat bekasnya. Rumor itu lebih dipercaya sebab biasanya para gadis akan kehilangan rasa percaya diri jika dirinya sudah tidak suci lagi.

Siti menggelengkan kepala. Jumriah sampai melotot, baru kali ini adiknya mau merespon. Dalam hatinya berucap syukur sebab apa yang dikhawatirkan ternyata bukan. Lantas apa? Selanjutnya Siti diam.

Suatu malam, Siti menepis air matanya. Sudah cukup seratus hari-kah dia menangisi Dimas? Dia teringat awal pertama mereka bertemu. Dimas seperti anak kecil jatuh ke got dan tidak dimandikan ibunya. Salah satu alasan ia bisa jatuh cinta adalah, Dimas terang-terangan menyatakan rasa suka.

Bagi Siti, gadis manis yang kerap ditatap malu-malu oleh para lelaki, baru Dimas yang pertama kali menyuarakan kata cinta. Tidak peduli bahwa setelah itu mungkin saja Ayah Siti yang mendengarnya akan mendatanginya dengan parang yang selama ini menjaga anak perempuannya dari lelaki nakal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun