"Gue bisa sendiri," ucapku.Â
"Iya, tapi izinin gue buat bantuin."
Arghh!!!Â
Aku mengacak-acak rambutku. Mengapa aku malah seperti merindukan Aldi sih! Ada apa denganku! Rasanya aneh, tapi aku semakin tak bisa keluar dari pikiran ini. Aldi memang masih sama, tetap mengobrol atau bahkan membantuku, hanya saja itu semua tidak sespesial dulu. Lalu anehnya aku tidak menyukai itu. Aku tidak nyaman saat dia memperlakukanku sebagai teman biasa. Gawat, aku sudah betulan gila!Â
"Aldi lo itu Mr. Crocodylidae, kenapa lo jadi keliatan spesial sih! Nyebelin banget!" kesalku saat sedang piket menyapu halaman.
 "Maksudnya buaya? Kan gue sukanya cuma ke lo doang?"Â
Alamak, si pemilik nama malah mendengarnya langsung! Aku dengan perasaan malu segera masuk ke dalam rumah. Ada segenap rasa sesal kenapa aku malah menyebut namanya tadi, tapi biarlah. Aku sudah tidak tahan sebab dia terus bermain dalam kepalaku.Â
Eh, tapi tunggu dulu, dari halaman malah terdengar tawa kencang. Aldi menertawakan sikapku itu ya? Memalukan!Â
Esoknya hingga memasuki minggu terakhir masa KKN yang mana kami baru selesai membuat pembatas dan nama desa, Aldi mulai kembali seperti dirinya yang dulu. Suka curi-curi pandang dan tersenyum padaku. Dia kadang mengeluarkan gombalannya, padahal tatapannya itu saja sudah cukup membuatku tersipu malu.Â
Hubungan kami hanya berkembang sampai di situ. Di hari terakhir ketika akan pulang meninggalkan desa, warga yang sudah akrab dengan kami malah minta dikirimi undangan jika aku dan Aldi menikah nanti. Aku hanya tertawa karena sepertinya kisah ini tidak akan berlanjut sebab kami akan terpisah, mulai fokus pada skripsi dan mungkin tidak akan bertemu lagi sebab beda gedung fakultas. Meski begitu dalam hati aku meng-aminkan harapan warga. Lihatlah, Aldi malah menaik-turunkan alisnya menatapku. Dasar! Aku jadi malu dilihat warga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H