Namun, niatku itu harus kandas saat Pipit tiba-tiba saja mengajakku keluar. Kukira hanya kami berdua, ternyata tidak. Cerita sebenarnya Pipit diajak jalan oleh gebetannya yang merupakan anak kepala desa, mereka memang sedang kasmaran. Pipit tidak mau sendirian, dia mau ada aku, olehnya aku akan berboncengan dengan teman yang diajak oleh gebetannya itu. Aku baru tahu semua skenarionya setelah menyetujui ajakan Pipit tanpa pikir panjang.Â
Dalam perjalanan si cowok di depanku ini mengajakku kenalan bahkan berusaha mengobrol lebih, tapi aku malas hingga kujawab singkat saja. Tak lama motor berhenti di keramaian. Kukira kami akan ke suatu acara, ternyata hanya ingin menonton pertandingan bola. Aku rasanya ingin menjitak Pipit yang bisa-bisanya mengajak ke sini padahal aku malas sekali. Ingatkan aku untuk marah-marah padanya saat di posko nanti. Meski begitu aku berusaha menikmati suasana ramai di desa ini.Â
Hingga tiba-tiba saja Pipit menyenggol-nyenggol bahuku. "Astaga, Aldi juga nonton bola di sini," katanya.Â
Aku agak kaget. Kulihat tak jauh dari kami ada Aldi yang sedang menatap ke arah sini. Wajahnya tampak tidak bersahabat.Â
"Ternyata dia mau ngajak gue ke sini tadi."Â
"Eh tapi nggak enak loh, masalahnya lo ke sini bareng orang lain padahal tadi lo nolak pergi bareng doi," balas Pipit. Aku juga jadi merasa bersalah.Â
Apalagi setelah itu Aldi menghampiri kami dan dengan pedenya gebetan Pipit berkata bahwa kami sedang double date. Astaga, ini sih memanas-manasi. Wajahnya yang biasanya ramah kini kaku tertekuk. Kalau saja aku tidak mengingatkan Aldi bahwa kami ini hanya mahasiswa KKN dan hanya pendatang di sini, kuyakin sedikit lagi akan ada perkelahian sebab si cowok yang membocengku ini ceplas-ceplos berkata senang bisa dekat denganku. Aldi setelah itu pulang padahal pertandingan belum selesai.
Kurasa dia marah padaku karena setelah kejadian itu dia tidak pernah lagi melempar gombalan dan cenderung menghindariku. Sebenarnya aku lumayan bersyukur sebab dia tidak lagi mengganggu, tapi ganjalan rasa bersalah kian hari seperti mengganggu.
 "Aldi, gue minta maaf ya. Sebenarnya gue emang nggak pengen nonton waktu itu, cuma terpaksa nemenin Pipit aja dan itu bukan double date," kataku disela waktu lowong saat kami sibuk mempersiapkan segalanya untuk acara lomba besok malam.Â
Dia bahkan tidak menatapku. "Selow, itu hak lo kok."Â
Entah, tapi rasanya seperti ada suatu esensi yang hilang dari diriku sejak saat itu. Aku mulai terbayang lagi sejak hari pertama saat sepasang mata tajam itu dengan lantang mencuri pandang padaku hingga seminggu kemudian mulut manisnya mulai melayangkan kalimat rayuan. Teringat lagi ketika dia yang selalu memantau gerak-gerikku bahkan akan segera datang menolong meski aku selalu berkata tidak butuh bantuan siapa pun.Â