[caption id="attachment_175379" align="alignleft" width="231" caption="Andreas Harsono (entrepreneurorganik)"][/caption] Jurnalisme hadir untuk memberi informasi kepada masyarakat berupa fakta-fakta yang bisa dipertanggungjawabkan. Namun kiniterjadi pergeseran, jurnalis kini tak lagi idealis.
Berikut hasil wawancara secara khusus dengan andreas harsono, salah satu wartawan yang aktif di yayasan pantau.
Andreas Harsono merupakan wartawan yang mendapat penghargaan Internasional Nieman Fellowship on Journalism dari Universitas Harvard ini merasa kecewa dengan beberapa media di Indonesia.Pasca Demokrasi dimana tak ada lagi sensor dan pembredelan media, malah membuat ruang redaksi melemah karena bergerak sesuai dengan perintah konglomerat sehingga beberapa informasi tak tersampaikan ke masyarakat.
Sejak Kapan Anda bergelut di Dunia Jurnalistik?
Sejak saya masih di Bangku Kuliah, saat itu saya bergabung dalam LPM Scientarium Universitas Kristen Satya Wacana. Setelah lulus saya menjadi wartawan penuh di tahun 1993 saya bekerja di Jakarta Post hingga tahun 1994. Kemudian saya dipecat karena dianggap partisan.
Mengapa disebut partisan?
Karena saya dianggap berpihak pada Lembaga Swadaya Masyarakat yaitu yayasan pijar yaitu organisasi anak muda dari Universitas Nasional dan Universitas Pancasila.
Apakah anda seorang partisan ?
Tidak, saya tidak merasapartisan dan bukan seorang partisan. Saya juga tidak dekat dengan yayasan pijar, namun sayamemang kenal beberapa dari mereka. Mungkin karena saya turut melawan rezim orde baru dan mendirikan Aliansi Jurnalis Indpenden (AJI) pada tanggal 7 Agustus 1994 maka saya dianggap partisan.
Apa yang anda lakukan setelah dipecat?
Setelah dipecat saya dilarang bekerja di Jakarta oleh Menteri Penerangan, sehingga saya pindah ke The Nation di Bangkok , The West Aust..... Setelah itu tahun 1999 saya bersama teman-teman saya kira-kira berjumlah sepuluh orang turut mendirikan majalah pantau.
Apakah anda merasa sakit hati dipecat?
Tidak, pemecatan itu malah membuka mata saya untuk melihat dunia. Dipertengahan 1999 hingga tahun 2000 saya mendapat beasiswa Harvard. Di Harvard saya langsung diajar oleh Bill Kovach, penulis buku9 elemen Jurnalisme.
Setelah anda pulang dari Harvard adakah perbedaan perkembangan media di Indonesia?
Ada, jika dulu sebelum masa demokrasi sering terjadi pembredalan dan penyensoran media oleh pemerintah namun kini tidak. Izin mendirikan pers sangat sulit,penggunaan sumber anonim pun sangat ketat. Namun sekarang pers bebas, akan tetapi setelah pers bebas media di Indonesia malah semakin melemah, mereka tak lagi independen dan bergerak sesuai dengan perintah konglomerat.
Bergerak sesuai perintah konglomerat, maksudnya?
Media di Indonesia saat ini seperti Humas dan public relationpemerintah, mudah sekalidisetel pengusaha atau pemerintah.
Contohnya ?
Media Palmerah.
Mengapa disebut media palmerah?
Karena jika dilihat dari atas apartemen saya maka ada ratusan kantor media di Jalan Palmerah Selatan. Misalnya Metro TV, SCTV, KOMPAS Gramedia, Tempo dan Jawa Pos.
Mengapa Anda mengatakan media Palmerah tak lagi independent?
Karena media Palmerah tidak lagi idealis, lebih mementingkan bisnis dan menyimpang dari kode etik Jurnalistik. Mereka juga melakukan penyensoran internal sehingga informasi yang harusnya utuh hanya sebagian disampaikanbahkan ada yang tak sampai. Pemberitaan mereka pun sensasional, tidak akurat, bersifat sara dan berbau amplop.
Apakah karena gaji kecil sehingga para jurnalis lebih mementingkan bisnis?
Bukan gaji kecil yang membuat para jurnalis bergerak di bisnis atau menerima amplop, namun budaya korupsi memang sudah menjalar ke para jurnalis. Misalnya saja Jurnalis yang memerasperusahaan Krakatau Steel itu bukan jurnalis yang miskin atau gajinya kecil, mereka bahkan dari media-media besar dan terkenal di Indonesia.(Nely)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H