Di sudut kecil perpustakaan yang sunyi,
Sebatang pensil terlupakan, merindukan cerita.
Di antara buku-buku tua dan debu yang lembut,
Ia menantikan waktu untuk menulis kisahnya.
Pernah ia menjadi alat pemikat kata-kata,
Menggurat halaman putih dengan keindahan huruf.
Namun, seiring berjalannya waktu,
Sebatang pensil terlupakan, tak lagi bersinar.
Dulu, ia menari di tangan seorang penyair,
Menyampaikan mimpi dan perasaan dalam bait-bait indah.
Namun, sekarang terbaring terlupakan di rak,
Hanya menyaksikan masa lalu yang kian jauh.
Dalam kelamnya malam, pensil itu bermimpi,
Mengingat detik-detik kejayaannya yang hilang.
Berkisah tentang puisi-puisi yang dulu terukir,
Dalam kata-kata yang kini terabaikan.
Suatu hari, seorang anak kecil melangkah ke perpustakaan,
Mata kecilnya bersinar melihat sebatang pensil itu.
Ia mengambilnya dengan penuh kekaguman,
Seolah menemukan harta karun yang tersembunyi.
Dengan hati penuh kreativitas, anak itu menari,
Pensil tua itu kembali hidup dalam genggamannya.
Mengguratkan warna dan mimpi di atas kertas putih,
Menuliskan kisah baru, menantang waktu yang melupakan.
Sebatang pensil yang terlupakan,
Kini menemukan kembali arti keberadaannya.
Mengukir kisah di halaman-halaman baru,
Menjadi alat yang menginspirasi hati yang muda.
Dari kelupaan menjadi pelopor kreativitas,
Sebatang pensil menjadi saksi perubahan.
Cerita yang terlupakan kini menjadi terukir,
Dalam setiap jejak yang ditinggalkannya di halaman perpustakaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H