Sejuta duka merayap dalam gelap, Hampa hati, pilu tiada henti tergap, Luka terpahat, merintih dalam diam, Puisi sejuta duka, dihiasi pilu tak bertepi.
Di malam sunyi, sendu rindu terasa, Memori datang, kembali menghantui masa, Cinta yang pergi, berlalu bagai angin lalu, Sejuta duka mengalir, tiada henti mengalir.
Setiap bait puisi, mencatat getir hati, Menyiratkan kehilangan, kian dalam terasa, Luka lama tak kunjung sembuh juga, Duka sejuta cerita, terukir abadi di sanubari.
Berkali-kali berusaha melupakan, Namun luka terluka, tak kunjung pulihkan, Hati remuk redam, seakan tak berdaya, Dalam puisi duka, pilu tak terperi.
Terkubur dalam sepi, terdampar pilu yang hampa, Duka dan lara, tak berkesudahan di penjuru rasa, Dalam puisi sejuta duka, terpancar getir abadi, Mengisahkan perihnya hidup, dalam samar bayang masa.
Namun di antara sejuta duka, ada harapan, Cahaya kecil, terangi gulita kelam, Mengajarkan ketabahan, menatap masa depan, Puisi sejuta duka, hanyut dalam arti makna.
Dalam kelam, ada rona harapan bersemi, Tiada duka yang kekal, selamanya menari, Biarlah puisi ini mengalir tulus dari kalbu, Menghapus luka, menerangi langkah yang terasa berat.
Dan meski duka terus beradu, menggelayut, Puisi ini tetap merayu, merangkul, Mengajak melangkah, menjalani hidup yang berliku, Sejuta duka, kini hanya riwayat lalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H