Indonesia saat ini sedang mengalami darurat sampah. Dari Batam, Bandung, Tangerang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar sedang terjadi penumpukan sampah. Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sudah tidak mampu menampung volume sampah harian. Bahkan TPA Sarimukti Bandung sempat mengalami kebakaran berhari-hari. Dengan volume sampah harian yang terus meningkat dan daya tampung TPA yang terbatas, masalah sampah  menjadi bom waktu yang siap meledak.
Bila kita membandingkan pengelolaan sampah negara tetangga Singapura dengan Indonesia, dengan memperhatikan luas wilayah dan jumlah penduduk, kita bisa membandingkan pengelolaan sampah di Singapura dangan Kabupaten Tangerang. Â Luas daratan Singapura 729 KM2 dengan jumlah penduduk sekitar 6 juta jiwa dan luas Kabupaten Tangerang 1002 KM2 dengan jumlah penduduk sekitar 4 juta jiwa. Jumlah sampah yang dihasilkan ternyata jauh berbeda. Pada tahun 2022, Singapura menghasilkan +- 7,39 juta ton sampah padat, dan 4,19 juta ton di antaranya didaur ulang. Data yang dipublikasi Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Tangerang melaporkan bahwa sampah yang dihasilkan Kabupaten Tangerang sekitar 2500 ton/hari atau kira-kira 912.500 ton pertahun. Artinya jumlah sampah padat terdata di Kabupaten Tangerang hanya 12.35% jumlah sampah padat Singapura. Meskipun saat ini Tangerang memiliki 200 unit kendaraan pengangkut sampang, TPA Jatiwaringin hanya mampu menerima 2000 ton sampah perhari. Sampah yang tidak dapat didaur ulang Singapura, adalah 3,2 juta ton/tahun atau 8767 ton/hari. Ketika, hampir semua sampah Tangerang berakhir di landfill TPA Jatiwaringin. Singapura memanfaatkan teknologi insinerator-waste to energy sebelum dikirim ke pulau Semakau, TPA satu-satunya Singapura.
Mengelola Sampah Yang Tidak Dapat Didaur Ulang
Pengelolaan sampah yang tidak dapat didaur ulang inilah yang jadi masalah. Dengan tantangan keterbatasan lahan, Â kebijakan yang diambil Singapura untuk mengelola sampah yang tidak dapat didaur ulang adalah dengan mekanisme pembakaran (insinerator) yang mengubah sampah menjadi energi listrik (waste to energy/ WTE). Pemerintah Singapura membangun insinerator pertama di Singapura (dan Asia Tenggara) pada tahun 1974. Insinerator Ulu Pandan mulai beroperasi pada tanggal 30 Juli 1979.
Sebenarnya "waste to energy" bukan barang baru di Indonesia. Indonesia telah memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Benowo di Surabaya dan PLTSa Merah Putih di TPA Bantar Gebang Jakarta. PLTSa Benowo diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2021 sebagai kerja sama antara Pemkot Surabaya dengan PT Sumber Organik (SO) dengan teknologi Gasifikasi Power Plant. PLTSa Benowo memiliki kapasitas 12 MW dan mampu mengolah 1.000 ton sampah per hari. Sementara, PLTSa Merah Putih diinisiasi pada tahun 2019 sebagai proyek pilot kolaborasi Pemprov DKI Jakarta dengan Pusat Teknologi Lingkungan (PTL) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) -- sekarang menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Proyek ini  mampu mengolah 100 ton sampah per hari.  Abu sisa pembakaran di PLTSa Merah Putih diolah menjadi paving block.
Saat ini, infrastruktur pengelolaan sampah Singapura terdiri dari empat insinerator-WTE , yaitu: TuasOne (TWTE), Keppel Seghers Tuas (KSTP),Tuas South (TSIP) dan Senoko (SWTE). Singapura juga sedang membangun Integrated Waste Management System.
Faktanya kebijakan insinerasi-WTE yang dijalankan dengan konsisten oleh pemerintah Singapura  mengurangi volume sampah sekitar 90%. Hal ini membantu Singapura yang kekurangan lahan untuk pengelolaan TPA Semakau. TPA ini berada di pulau kecil seluas  3.5 KM2, yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan di negara ini hingga tahun 2035 dan seterusnya. Pada tahun 2021, TPA Semakau menerima rata-rata 2.098 ton abu insinerasi dan sampah non-insinerasi setiap harinya. TPA Semakau bisa belajar dari PLTSa Merah Putih untuk mengolah abu menjadi paving block.
Sederhananya, beragam teknologi pengolahan sampah sudah tersedia. Teknologi karya anak bangsa sangat potensial untuk diduplikasi. Pengadaannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan anggaran serta sesuai dengan kebijakan dan peraturan perundangan yang berlaku. Tinggal bagaimana pemerintah mengambil kebijakan karena setiap saat, sampah terus menumpuk.
Kita perlu melakukan introspeksi, apakah kebijakan pengelolaan sampah Indonesia saat ini telah ada pada jalur yang benar? Kalau sudah on the track, mengapa masih kerap terjadi penumpukan sampah? Mengapa masih banyak TPA yang overflow? kebakaran di TPA dan lain-lain. Â Apakah diperlukan kebijakan yang lebih tepat untuk pengelolaan sampah di TPA yang telah menggunung? Kebijakan yang dapat mengakomodir urgensi pengelolaan sampah saat ini.
Urgensi Pengelolaan TPA
Sampah yang dapat didaur ulang memiliki potensi sirkular ekonomi. Bank Sampah membantu mengelola sampah yang dapat didaur ulang dan masih memiliki nilai ekonomis. Komposter mengelola sampah rumah tangga dan sampah organik lain yang dapat dijadikan kompos. Berbagai aksi bersih-bersih sukses memindahkan sampah ke TPA. Maka untuk mengelola sampah yang menggunung di TPA diperlukan langkah yang lebih ekstrim.
Diperlukan keberanian dari pemerintah pusat dan daerah untuk membuat badan khusus untuk menangani sampah. Badan ini dapat saja berbentuk sebagai Badan Usaha yang bertanggung jawab mengelola sampah, pengelolaan TPA eksisting dan PLTSa, pemungutan iuran sampah, menjual excess listrik PLTSa kepada PLN, membangun industri pendukung misalnya industri pembuatan produk dari abu/residu pembakaran sejauh sudah tidak dikategorikan limbah B3. Badan ini juga dapat membangun PLTSa baru, TPA berwawasan lingkungan dan integrated waste management facility (Bank Sampah +), dengan teknologi yang sudah proven. Tentunya badan ini perlu bekerja sama dengan pihak-pihak terkait. Secara khusus perlu ditanamkan pendidikan sebagai internalisasi budaya bersih, budaya minim sampah, budaya anti food waste dan 3R sejak dini. Penegakan aturan bagi produsen untuk  memanfaatkan produk yang dapat didaur ulang serta tanggung jawab produsen untuk pengelolaan sampah.  Serta, kita tidak bisa melupakan laskar pemulung yang menggantungkan hidup dari sampah. Badan ini dapat melakukan identifikasi dan pelatihan agar para pemulung dapat bekerja lebih baik.
Kebijakan terintegrasi diperlukan agar volume sampah yang sudah menggunung di TPA dapat dikurangi sampai habis. Sebaik-baiknya pengelolaan TPA Semakau, pada waktunya TPA ini akan penuh juga. Pengelolaan sampah harus berjalan terintegrasi dari penegakan aturan, pengelolaan dengan teknologi yang tepat dan internalisasi budaya. Dengan kondisi Indonesia yang darurat sampah, pilihan terbaik adalah pengendalian sampah dari hulu dan pengelolaan sampah di hilir. Adanya  badan khusus yang mengelola issue persampahan baik di pusat dan daerah akan membantu daerah mengelola sampah sesuai dengan kebutuhan, potensi dan karakter tiap-tiap daerah. ***