Hari ini, 28 Oktober 2024, saya berdiri mengikuti upacara bendera di SMPN 18 Malang yang penuh semangat. Langit cerah menjadi saksi saat langkah kami menuju lapangan upacara untuk memperingati Sumpah Pemuda ke-96. Disini saya bukan sekadar mahasiswa PPL yang tengah mengamati dari luar, namun saya ikut larut dalam antusiasme mereka, menyerap energi muda yang begitu besar. Kami semua berdiri dengan seragam rapi, saling menyapa dan bercanda, meski setiap orang datang dari suku, bahasa, dan budaya yang berbeda. Sungguh, di sekolah ini, terasa sekali bahwa kami adalah miniatur Indonesia yang kaya akan keberagaman. Namun, meski berbeda-beda, kami punya satu tujuan yang sama yakni  menjunjung tinggi persatuan.
Upacara hari ini benar-benar berbeda, bukan hanya sekadar ritual. Pembina upacara dengan suara tegas menyampaikan pesan dari Menteri Pemuda dan Olahraga, sebuah pesan yang membangkitkan semangat di dada saya. Tiga pesan yang mengalir itu mengingatkan kami bahwa Sumpah Pemuda bukan hanya lembaran sejarah, melainkan nyawa yang terus hidup dalam diri setiap pemuda Indonesia, termasuk saya yang saat ini hadir sebagai bagian kecil dari generasi muda.
Pesan pertama adalah tentang pentingnya persatuan. "Persatuan adalah kekuatan," tegas pembina upacara. Mendengar ini, saya teringat bahwa persatuan adalah benang merah yang menyatukan kami semua, warga sekolah SMPN 18 Malang. Beragam siswa dari berbagai daerah, suku, dan bahasa belajar menerima satu sama lain. Kami belajar bahwa setiap perbedaan yang ada bukanlah penghalang, melainkan keindahan yang merangkai Indonesia. Di sini, persatuan bukan sekadar kata-kata, namun persatuan adalah mozaik warna-warni yang menambah keindahan Indonesia, potret bangsa yang kaya akan harmoni.
Pesan kedua adalah tentang mencintai dan melestarikan budaya. Di era digital yang serba cepat, seringkali budaya kita tergeser oleh tren baru dari luar negeri. Namun, di sekolah ini saya melihat upaya nyata untuk merawat budaya Indonesia. Melalui kegiatan seni dan proyek lingkungan seperti "TONGSIS" (Kantong Siswa), siswa diajak tidak hanya menjaga kebersihan, tetapi juga menghargai lingkungan mereka. Di sinilah saya menyadari bahwa mencintai budaya tak sekadar menari atau berbicara dalam bahasa daerah, tetapi juga menghidupkan nilai-nilai luhur seperti gotong royong dan kebersamaan. Budaya menjadi jati diri yang kokoh, pondasi yang membuat kita berdiri tegak.
Pesan ketiga adalah keberanian untuk berkreasi dan berinovasi. Menteri mengajak kami, para pemuda, untuk tidak hanya menjadi penonton, tapi menjadi pencipta. Di SMPN 18 Malang, saya melihat dorongan yang luar biasa untuk mengembangkan ide-ide baru, dari kreasi seni hingga teknologi sederhana yang bermanfaat untuk lingkungan sekolah. Bagi saya, pesan ini adalah tamparan halus bahwa inovasi tidak harus besar atau rumit. Dari hal kecil seperti mengurangi sampah plastik atau menciptakan solusi sederhana, kita bisa menjadi bagian dari perubahan yang berdampak. Meski kami masih berada di sekolah, saya dan para siswa ini merasa bahwa kami memiliki kekuatan untuk membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.
Di bawah kibaran bendera merah putih, di antara rekan-rekan mahasiswa PPL dan para siswa yang berdiri tegak, saya merasakan makna Sumpah Pemuda yang sebenarnya. Di lapangan ini, kami mengingat kembali janji-janji itu, yang harus terus kami jaga dan wujudkan. Kami, di SMPN 18 Malang adalah bagian dari kisah besar Indonesia, potret miniatur bangsa yang indah karena perbedaan yang dipeluk erat dalam persatuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H