MANUSIA MAKHLUK SOSIAL. Tentu saja memerlukan teman. Berbagai macam bangsa, ras, suku, agama, terdapat. Bahkan aneka budaya dan tradisi. Untuk itulah kehidupan dan kemanusiaan tercipta. Saling kenal mengenal dan menyayangi. Dan bukan sebaliknya, membuat kerusakan, menimbulkan bencana. Sedang bagi Allah, hanya ada satu kriteria yang membedakan di antara makhluk ciptaan-Nya yang bernama manusia itu. Yaitu, ketakwaan! Iya. Ketakwaan inilah yang membedakan di antara manusia. Karena dari sinilah letak kemuliaannya! Letak perbedeaannya yang mencolok. Dan bukan yang lainnya. Yang merupakan atribut dan embel-embel, yang bisa saja suatu saat menimbulkan perselisihan dan pertikaian di atas kebanggaan, kesombongan dan keserakahan demi suatu kepentingan. MAKA tepatlah jika di dalam firman-Nya Allah mempermaklumkan: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal…….” (QS 49:13) DAN SALAH SATU HASIL dari kemuliaan yang dimiliki sebagai orang bertakwa, pemberian atau karunia Allah kepadanya, adalah kemampuannya untuk bisa melihat dan membedakan di antara kebenaran dan kebatilan. Kebaikan dan keburukan. Yang pada akhirnya membawanya pada penghapusan segala kesalahan-kesalahan dan pengampunan atas dosa-dosa, sebagaimana layaknya seorang manusia yang tak akan pernah lepas dari itu. “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqaan dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa) mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS 8:29) RAMADHAN datang. Puasa tiba. Sasaran takwa digelar. Saling berlomba. Siapa yang paling baik amalannya di antara para hamba-Nya, dalam hidup yang penuh coba dan uji ini. Penuh tantangan dan goda! “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS 2:183) “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS 67:2) Di situlah kemenangan. Di sanalah keberuntungan. Fitrah sejati kembali menempati diri. Karena dia sudah menerima dan mengakui Allah sebagai Rabb-Nya, sebelum ia terlahirkan ke bumi ini. Pada saat ia mengakuinya. Bersaksi di hadapan Tuhan-Nya; Dan Allah memperingatinya lewat firman-Nya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul! (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah oang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (QS 7:172) “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS 30:30) REALITAS YANG TERLIHAT, manusia saling tidak peduli. Bersikap acuh dan individualis. Mengkhianati janji fitrah dirinya sendiri. Tidak menghadapkan wajahnya ke situ. Ke Dien-Nya yang lurus. Fitrah sejati ditutupinya dengan tingkah lakunya yang tidak bertanggung-jawab. Sehingga suatu saat, sikap ini melahirkan keterasingan dirinya terhadap lingkungan. Dan iapun seakan tak mengenal dirinya lagi, di tengah eksistensi yang menempati statusnya sebagai manusia! Di sinilah kerusakan itu terjadi. Awalnya pada dirinya sendiri, tapi kemudian merambas kepada yang lain. Lingkungan sosial di mana ia berada. Bahkan lingkungan di luarnya, yang lebih luas dan lebih banyak lagi. Karena sikap, perilaku, perbuatan yang tidak menyenangkan, yang ada pada diri seseorang, bisa berpengaruh ke lingkungan lain, lebih luas dan lebih banyak, oleh virus epidemi yang ditularkannya. Padahal Allah/Khalik/Ilah, Rabb, menciptakan manusia, bukan tanpa dasar. Tapi dengan suatu tujuan yang benar. Bukan sekedar untuk main-main belaka! “Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS 23:115) “Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar dan agar dibalasi tiap-tiap diri terhadap apa yang dikerjakannya, dan mereka tidak akan dirugikan.” (QS 45:22) “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS 51:56) Beribadah kepada-Nya. Menyembah-Nya. Mengikuti aturan-Nya. Berserah diri kepada-Nya; adalah satu keuntungan dan kebaikan yang bakal diterimanya. Baik di dunia maupun di akhirat nanti. SECARA LOGIKA, seorang pezina, tidak mengikuti aturan-Nya. Melakukan perzinaan. Apakah hasil kebaikan yang bakal diterimanya? Secara individual. Dalam internal dirinya, orang tersebut diliputi oleh kegalauan, keresahan, kebingungan, kebersalahan, bahkan kecemasan dan ketakutan diri. Malu, bingung, khawatir, sang kekasih yang telah menghamilinya misalnya, akan tidak bertanggung-jawab. Akan melarikan diri. Meninggalkannya. Bahkan banyak terlihat kasus, sang pria tanpa rasa kasihan, tega membunuh gadis/pacar yang telah digauli dan dihamilinya! Hanya karena ia merasa belum sanggup menerima beban pernikahan dan menjadi seorang ayah. Di samping alasan-alasan lain, yang mungkin menghuni hati dan pikirannya. Hingga ia merasa perlu untuk membunuh sang kekasih/pacar yang telah dihamilinya itu! Secara sosial dan eksternal, perbuatan zina itu bilamana sudah menjadi kebiasaan dan karakter buruk masyarakat, maka ia akan menjadi mala-petaka. Baik untuk dirinya sendiri, istri/suami, anak, keluarga bahkan masyarakat! Berbagai macam penyakit kotor akan timbul. HIV Aids semakin akan menyerang. (meski penyakit ini bukan hanya disebabkan oleh dampak seksual perzinaan, tapi juga narkoba, lewat jarum suntiknya). Begitu juga mengambil barang yang bukan haknya. Seperti mencuri, menggarong, atau korupsi. Maka dampaknya hanyalah membuat keresahan, kekacauan, kesengsaraan dan penderitaan. Baik secara internal individual, maupun eksternal sosial di masyarakat bangsa itu sendiri! Walhasil apa yang dilarang Allah itu, adalah satu kebaikan untuk manusia. Dan apa yang diperintahkan-Nya lewat undang-undang dan peraturan, adalah demi kebaikan manusianya juga. Demi kehidupan itu sendiri. Agar tercapai harmoni, ketertiban, ketenangan, keselarasan dan kedamaiannya. Dan ayat ini memperlihatkan itu: “…………., yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka………..” (QS 7:157) SEBENARNYA, melihat gambaran ayat QS 7:172 itu, manusia secara individual sosial, kolektif di alam ruh, telah menyatakan pengenalan dan kepengetahuannya akan Tuhannya. Rabbnya. Ilahnya Yang Esa! Pengenalan atau pengetahuan akan keesaan Allah, sebagai Rabbnya, Tuhannya, semakin diperkuat dengan kalimat tauhid pada saat ia dilahirkan. Dimana peran sosial, ayah atau pamannya, walinya atau keluarganya, mendengungkan kalimat tauhid itu di telinga kanan dan kirinya. Dan seterusnya, pengenalan dan pengetahuan semakin diperkuat, setelah ia mengalami masa bayi, balita, remaja, oleh pendidikan yang diberikan kedua orang tua. Maka tak pelaklah bilamana sebuah ayat atau hadis, menggambarkan bagaimana penting peran yang dimainkan sisi sosial, masyarakat, khususnya orang tua. “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang dieprintahkan.” (QS 66:6) “Tiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah islami) ayah dan ibunyalah kelak yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi (penyembah api dan berhala).” (HR. Al-Bukhari) Menghadapkan wajah ke situ. Kepada Allah. Ke agama-Nya yang lurus, kadang, pada tataran kemanusiaannnya yang jalang, kebanyakan manusia sering melanggar dan mengkhianati. Fitrah sejati ditutupinya dengan tingkah lakunya yang tidak bertanggung-jawab. Yang menyeleweng, dan membuat kerugian pada dirinya sendiri. Masyarakat. Bahkan bangsa dan negaranya masing-masing. Padahal, sebagai seorang muslim nan beriman, ia pun tahu, bahwa dunia atau bumi yang ditempatinya ini, hanya bersifat sementara. Fana. Dan akan binasa. Yang tetap kekal hanya Wajah Tuhan-nya. Sedang kehidupan akhirat lebih baik dan lebih kekal. Dimana di situlah kesempurnaan itu akan dituju. “Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhan-Mu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS 55:26-27) “Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS 87:17) MANUSIA diciptakan Allah, berbeda dengan binatang. Juga dengan malaikat. Manusia memiliki ruh, akal dan jasad. Dimana hawa nafsu, syahwat, adalah juga bagian dari apa yang dimilikinya. Sedang malaikat diberikan akal dan ruh, dimana hawa nafsu, syahwat, tidak dipunyainya. Sementara binatang diberikan ruh, jasad, syahwat, sedang akal tidak dimilikinya. Dari ketiga makhluk tersebut, manusialah makhluk yang paling sempurna. Paling baik bentuknya. Paling mulia. “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS 95:4) “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam,……….(QS 17:70) “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakan kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar! Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS 2:31-32) DENGAN AKAL DAN PETUNJUK Dien-Nya, serta teladan dari Rasul-Nya SAW. sebagai uswatun hasanah, contoh teladan yang baik, (QS 33:21), manusia bisa menempuh jalan yang lurus. Kembali pada fitrahnya yang asli. Bisa merealisasikan agama-Nya yang hak. Yang sempurna. Dicukupkan nikmat-Nya. Diridai-Nya. (Lihat QS 5:3, QS 3:19, 83, dan 85) UNTUK MENGETAHUI YANG HAK atau yang benar, dan membedakannya dengan yang batil, maka manusia harus mempunyai dalil/hujjah. Dalil tersebut dalam Islam dikenal dengan Dalil Aqli dan Naqli (dalil logika dan dalil al Qur’an dan Sunnah). Yang untuk itu diperlukan ilmu pengetahuan dan pelajaran terhadap nilai-nilai dan ajaran agamanya. Karena hanya dengan iman dan ilmu-lah, manusia dinaikkan derajatnya beberapa derajat daripada yang lain: “……………………, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS 58:11) SEMENTARA ITU, seperti gambaran awal di muka tadi, orang bertakwa diberi karunia oleh Allah untuk bisa membedakan antara yang hak dan batil. Yang baik dan buruk. Yang benar dan sesat. Sedang salah satu sasaran dari Ramadhan dan puasa ini, adalah menjadikan manusia itu supaya bertakwa! Supaya memiliki furqaan. Alat pembeda untuk membedakan yang baik dan buruk. Benar dan salah, atau sesat itu. Dimana pelajaran, pendidikan, pelatihan, pembinaan diri sebaik-baiknya, mesti dilakukan. Agar kesempatan yang diberikan Allah kepada hambanya, di bulan Ramadhan dengan ibadat puasanya, menahan segala hawa nafsu buruknya, baik syahwat perut atau lainnya, dan hanya diperuntukkan bagi-Nya, tidaklah menjadi tersia-sia. Dimana puasanya kemudian hanya mendatangkan rasa haus dan lapar belaka, tanpa faedah yang berarti. Bahkan termasuk manusia yang celaka, karena sudah kehilangan rahmat, ampunan dan berkah Nya. “Mungkin hasil yang diraih seorang shoim (yang berpuasa) hanya lapar dan haus, dan mungkin hasil yang dicapai seorang yang shalat malam (Qiyamullail) hanyalah berjaga.” (HR. Muslim) “Telah datang bulan Ramadhan kepadamu. Bulan yang penuh berkah dimana Allah menyelubungimu. Pada bulan ini Dia menurunkan rahmat-Nya, menghapuskan dosa dan mengabulkan doa. Dia menyaksikan perlombaanmu pada bulan ini dan membanggakanmu di hadapan para malaikat-Nya. Oleh karena itu perlihatkanlah kepada Allah kebaikan pada dirimu, karena sesungguhnya orang-orang yang celaka itu ialah orang yang tidak mendapatkan rahmat pada bulan ini.“ Naudzu billahi mindzalika! LALU, pantaskah jika kemudian, penulis catatan ini bertanya pada judul tulisannya: “Tercapaikah sasaran itu? Sasaran ketakwaan sebagaimana yang diinginkan Ramadhan dengan perintah ibadah wajibnya untuk berpuasa, demi menahan diri dari segala giuran dan ajakan hawa nafsu? Tidak hanya untuk saat ini, pada Ramadhan yang sedang kita hadapi dan jalani, tapi juga untuk saat dan waktu-waktu selanjutnya? Agar damailah bumi ini dan lepaslah manusia dari cengkeraman hawa nafsu dan godaan setan. Sehingga tertib dan tenteramlah pula kehidupan kemanusiaannya dengan skala harmonisasi, keselarasan dan kewangian perilaku manusianya di atas kebaikan, sebagaimana yang diperlihatkan Rasul-Nya SAW. juga Dia, Sang Maha pengasih dan Penyayang itu? Yang menyuruh kita untuk berbuat baik kepada orang lain, sebagaimana Dia telah berbuat baik kepada kita? (QS 28:77) Sebagai tanda, ciri dari predikat diri kita, selaku manusia, insan yang mulia? Orang-orang yang bertakwa? WALLAHU A’LAM
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H