ALANGKAHINDAHNYA
Oleh: fatma elly
“Semoga Allah Subhanahu wa' ta'ala memberi rahmat kepada orang yang mau menunjukkan kesalahanku,“ kata Umar Ibnul Khathab, sorang ‘Amiral mukminin, atau pemimpin bagi rakyatnya. Orang yang dikenal sejarah sebagai orang yang jujur pemberani di atas kebenaran, serta sangat memperhatikan rakyat yang dipimpinnya.
Lalu sekarang, bagimana dengan para pemimpin atau pejabat serta tokoh masa kini, bilamana datang kritik terhadap kebijakan yang diterapkannya? Kadang masih terlihat, pada para pemimpin, pejabat atau tokoh, ada sikap apriori. Bahkan merasa tersinggung, malah tak segan-segan mengambil tindak balas yang akan menyudutkan dan membuat citra buruk yang merugikan bagi sang pengkritiknya itu.
Jiwa besar dengan seperangkat kesadaran, bahwa manusia tak lepas dari kesalahan,kekeliruan dan kekhilafan, seakan terlupakan mereka. Yang teringat dan menjadi hawa nafsunya hanyalah prasangka. Bahwa di balik kritikan yang dilontarkan oleh seseorang tersebut, terdapat keinginan untuk mendiskreditkan namanya. Bahkan ingin menjatuhkan dirinya sebagai pemimpin, pejabat atau tokoh di suatu eselon, hierarki kepemimpinan tertentu. Hinga tidak mustahil membuatnya tersinggung dan marah, lalu memberikan suatu gambaran negatif bagi si pengeritik tersebut.
Alangkah bertolak belakangnya dengan Umar bin Alkhathab, yang malah berterima kasih dan bersyukur atas kritikan sang rakyat, dalam hal ini seorang perempuan pula, yang pada waktu itu di banyak Negara dan bangsa, masih seperti menyepelekan kedudukannya di berbagai sisi atau segi kehidupan, dibanding para lelaki.
Ketika itu, perempuan tersebut tak menyetujui kebijakan Umar bin Alkhathab sebagai ‘Amirul Mukinin, yang melarang orang berlomba-lomba dalam jumlah pemberian mas kawin.
Berkata perempuan itu kepadanya: “Hai Amiral Mukminin, mengapa engkau hendak membatasi jumlah mas kawin? Tidakkah engkau mendengar firman Allah : “Jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain sedang kamu telah memberikan di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun.” (QS An Nissa’, QS 4:20)
Bagaimana sikap Umar sebagai amiral mukminin, pemimpin saat itu, terhadap kritikan ini? Apakah ia menjadi tersinggung, marah dan tak mengindahkan, bahkan berbuat yang tak menyenangkan terhadap pengeritiknya? Apalagiseorang perempuan yang pada era tersebut sedang dalam peremehan status kedudukannya sebagai seorang manusia utuh?
Bukannya tersinggung atau marah, malah ia mengakui kekeliruannya dengan mengatakan: “Telah benar seorang perempuan dan bersalah Umar.”
Alangkah indahnya, jika budaya sosial pada saat ini, dimana kebijakan yang dilakukan seorang pemimpin, pejabat, atau tokoh, kadang keliru atau malah tak memenuhi selera keinginan banyak rakyat, baik dari mereka yang berada di legislatif, eksekutif maupun yudikatif, mendapat perhatian dan kesadaran. Mengakui kekeliruan, kekhilafan, dan ketidakbecusannya dengan berani dan jujur, sebagaimana Umar bin Al Khathab tersebut. Dan bukan sebaliknya, malah melontarkan argumentasi yang malah membuat suasana dan keadaan semakin keruh dan tak menyenangkan!
Wallahu a’lam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H