Mohon tunggu...
Fatma Elly
Fatma Elly Mohon Tunggu... -

fatma elly, umur 63 th. 20-11-1947. ibu rumah tangga tapi senang juga menulis. pendidikan akademi hubungan internaional.untag. jakarta.islam.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ah ..Kamu...

3 September 2010   02:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:29 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

A A H…K A M U... Oleh: Fatma Elly “Ah kamu, memang benar-benar gila anak muda. Gila!“ katanya ketus. Seketus suaranya sendiri di benak yang menyindir geram: ”Kamu juga gila! Bahkan lebih gila dari anak muda itu!“ “Ya Pak. Benar. Saya memang gila,“ terdengar suara di telepon lemah. Mengakui. “Nah kenapa kamu mau jadi orang gila? Memangnya kamu tak sadar? Atau barangkali, akal sehatmu tak jalan lagi? Mandeg gitu?“ “Tak tahulah Pak. Barangkali. Tapi itulah kenyataannya“ Lelaki menjelang senja, menggeleng kepala. Di antara tangan memegang telepon, dan telinga menghimpit di situ, ia pun seperti berkata pada diri sendiri. “Memangnya kamu sadar? atau seperti anak muda itu, jalan pikiran tak sehat lagi. Mandeg. Gila.“ Karena suara anak muda itu lama tak terdengar, lelaki berusia senja ingin menyudahi percakapan. Lagi pula, apalah gunanya perbincangan yang akan merisaukan? “Nah sudah ya, sampai di sini.“ Tapi suara di telepon kembali terdengar. Mendesak dan memohon: “Sebentar Pak. Boleh curhat?“ “Ah kamu, curhat apa lagi sih?“ “Selama ini saya tak bisa berbagi rasa, Pak. Semua terpendam. Berat rasanya Pak. Tolong,“ katanya setengah memohon dan meminta untuk diberi kesempatan mencurahkan perasaan. Laki-laki menjelang senja itu tercenung sebentar. IA PUN DEMIKIAN. Selama ini perasaannya juga terpendam. Tak sanggup diutarakan pada siapapun. Baik kepada orang yang selalu diingat, menjadi pusat perhatian, ataupun pada yang lain. Istri dan anak-anaknya sendiri. Bisa perang. Kekacauan akan terjadi. Lalu kini, anak muda itu mohon dibelas kasihani. Diberi kesempatan untuk bercurhat. Menumpahkan segala duka derita rasa. Apakah ini karena adanya unsur materi di dalam diri, hingga tak cukup Tuhan sebagai pelampiasan pengaduan? pikirnya. Manusia diciptakan dari unsur materi dan non materi. Tanah dan ruh.(QS 38:71-71, QS 32:7-9) Maka pada keduanyalah, barangkali curhat mesti dilakukan. Karena jika hanya pada Tuhan saja, tempat mengadu segala rasa yang dialami, pengalaman yang dimiliki, mungkin tidak cukup. Kurang respon balik yang bisa langsung diterima dan dirasakan. Perlu juga sesuatu yang bersifat materi. Manusia, teman atau sahabat. Bahkan orang lain. Wajarlah, karena ia bagian daripada materi. Seperti dirinya yang dimintai jadi objek curhat anak muda itu. Agar rasa dan apa yang dialami, tak terlalu penuh membebani dada. Seperti juga yang dialami dan dirasakan. Yang telah mengurung dan mengungkungnya sedemikian rupa dalam bingung, dan beban jiwa yang berat. Terpasung sedemikian rupa. Maka katanya memahami: “Ya boleh. Curahkan saja kepadaku segala rasamu itu.“ “Walau Bapak adalah Ayahnya?“ “Walau saya adalah Ayahnya.Tidak apa-apa. Silahkan.“ PADA SAAT ITU, ia sudah membandingkan diri. Tak dapat mencurahkan perasaan, dada tuanya semakin penuh diisi kesedihan. Keresahan, kekacauan pikiran, dan lainnya lagi. Padahal ia dikenal sebagai seorang profesor yang berilmu. Dosen yang dihormati. ADA SEMACAM RASA IBA dan kasihan terhadap anak muda itu. Yang mengalami hal yang sama dengan dirinya. “Begini Pak, saya mengenal anak Bapak di Kampus waktu ada seminar. Kebetulan Anak Bapak salah seorang panitianya,“ kata anak muda itu mulai bercerita. “Saya juga termasuk, Pak. Sama-sama di kepanitiaan.“ Sejenak suaranya terhenti. Mungkin sedang bernostalgia. Membayangkan saat ia menjadi panitia bersama Lita di seminar Kampus. Tapi tidak lama kemudian, suara di telepon kembali meneruskan: “Nah ketika itulah, saya jatuh cinta pada Anak Bapak. Cinta pada pandangan pertama Pak.“ Sejenak suaranya terhenti pula. Mungkin dadanya terasa sesak mengingat pertemuannya saat itu. “Anehnya,“ katanya kembali, “saya tak berani menyatakan cinta saya padanya Pak. Saya pendam saja di hati segala perasaan itu. Apa karena saya merasa belum pantas disebabkan tidak memiliki pekerjaan, atau belum mendapatkan gelar kesarjanaan, atau memang tak punya keberanian. Tak tahulah Pak. Tapi kenyataannya, segala rasa tetap terpendam. Tak berani dan tak sempat dinyatakan. Hingga Anak Bapak akhirnya menikah.“ Kembali suaranya terhenti. Tersedak di tenggorokan. “Dan sekarang, ketika Lita sudah memiliki beberapa orang anak seperti kata Bapak, saya masih tetap mengingatnya. Membayangkan, mengangankan, merindukan. Hingga waktu-waktu yang berjalan dan berputar, hati selalu tercurah, dan pikiran tertuju padanya, Pak. Membuat gelisahresah, tak keruan rasa." "Sepertinya saya terkungkung dan terpasung, Pak. Tidak bisa berbuat apa-apa. Mencintainya sepenuh hati dan jiwa. Selalu ingat, dan ingin dekat saja padanya. Ingin selalu bersama dengannya, Pak.“ Suara itu mulai serak dan parau kembali. Bahkan tak dapat membendung isaknya lagi. Di telepon kedengaran suara tangisan menyayat! “Ya Tuhan,“ pekiknya pula dalam hati, “betapa ia seperti aku? Sayapun serupa. Hati saya seperti di pasung. Di kungkung perasaan dan gejolak rasa yang saya tidak mengerti. Hingga membuat saya bingung alang kepalang! Tak tahu apa yang harus dilakukan dan diperbuat. Padahal umur saya tidak muda seperti dia. Memiliki istri dan beberapa orang anak yang sudah menikah. Berkeluarga, bahkan cucu! Sedang gadis itu sendiri masih muda. Mahasiswi di mana saya mengajar.“ “Nah Pak, bagaimana menurut Bapak?“ tanya anak muda itu lagi. Ia bingung. Apa yang mesti dikatakan? Apa yang mesti dinasehatkan? Ia juga tidak tahu. Ia juga sedang bingung. Suatu penantian tanpa kepastian. Bahkan sepertinya, kesia-siaan. Karena orang yang selalu diingat, objek pemikiran dan keresahgelisahannya setiap hari, tidak tahu sama sekali. Tidak merasakan seperti yang ia rasa! Kalau sekiranya ia membalas, sedikit saja, cukup sudah. Ia merasa puas. Senang dan bahagia. Tapi ini tidak. Jangankan membalas. Tahu saja tidak. DAN KALAUPUN TAHU, apakah membalas? Barangkali tidak. Karena ia sudah tua dan tak pantas untuk itu. Kalau anak muda itu tak sempat dan tak berani mengutarakan perasaan cinta dan kasih sayangnya, karena berpikir tentang pekerjaan dan kesarjanaan yang belum didapat, atau kurangnya keberanian, maka ia pun demkian. Tapi sedikit berbeda. Ia tak berani. Malu menyatakan dan mengutarakan apa yang dirasa dan dipikir, oleh perasaan tak pantas yang menghuni hati. Pikiran bahwa dirinya sudah tua, mempunyai istri dan beberapa orang anak, bahkan cucu, membuatnya seperti itu! Sementara ia sendiri tak tahu, tak jelas, tentang rasa yang menghuni hatinya itu. Bentuk dan rupanya asing. Karena hal ini baru dirasakannya pertamakali. Dengan istrinya dulu, ia menikah tanpa melalui proses rasa seperti itu. Biasa saja. Sudah waktu untuk menikah, orang tua mencarikan dan melamarkan. Terjadilah pernikahan. Tapi kini lain. Perasaan itu datang begitu saja. Menyapanya dalam ingat dan bayang yang tak kenal henti. Resah gelisah ingin bertemu,.menatap wajah, mendengar suara, membayangkan, mendambakan, yah tak tahulah, apa lagi yang bisa diungkapkan dan diceritakan. Namun rasa itu memang istimewa. Sangat membingungkan dan.mengherankan! “Ya Tuhan, apapun akalku, tak tembus. Tak dapat kujangkau sesuatu yang telah Kau ciptakan dan takdirkan, yang gaib bagiku“ pikirnya sering. RUPANYA DALAM HIDUP ini, keanehan dan keajaiban sering terjadi. Tak bisa terpahami dan dimengerti secara mutlak. Dan manusia dijadikan bersifat lemah: “………..dan manusia dijadikan bersifat lemah. “ (QS 4:29) “…………………Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku Mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS 2:30) Padahal Dia Maha Mengetahui terhadap yang gaib. “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis di dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)” (QS 6:59) DAN UNTUK ITU, ingatannya tercurah pada Ridwan. Pemuda teman putrinya yang satu lagi. Lisa. Yang cintanya menggebu-gebu pada putrinya, tak pernah padam hingga kini. Sedang Lisa sendiri, tak pernah menggubris. Apalagi membalas dan mencintai. Seperti juga Lita, yang tak pernah tahu kalau anak muda itu mencintainya. Mengingat terus menerus, menderita karenanya. Sedang Lita sudah memiliki suami, anak-anak, mereka yang begitu sangat dikasihi dan dicintainya. Tak pernah mengingat, apalagi memikirkan anak muda tersebut. Temannya dulu, kala sepanitia di seminar Kampus! LELAKI BERUSIA MENJELANG SENJA, sang profesor, dosen, masih jua tak mengerti terhadap hal yang menimpa. Perasaan yang datang padanya, dan telah dirasakannya itu. Begitupula barangkali, seperti tak pahamnya orang terhadap hakekat-hakekat. Apalagi hakekat alam gaib. Sesuatu yang bersifat gaib. Di mana orang mencoba mencerap-Nya dengan akal dan indera, untuk bisa mempercayainya. Padahal sudah dinyatakan, bahwa Dia tak bisa dicapai dengan penglihatan mata dan penjangkauan akal manusia yang terbatas, terhadap Dzat-Nya itu: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (QS 6:103) BAHKAN Nabi Musa a.s. dan kaumnya juga pernah melakukan itu. “Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: ”Ya Tuhanku nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau “ Tuhan berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu , dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musapun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman.” (QS 7:143) Begitu pula dengan kaumnya Nabi Musa alaihissallam, yang bertanya kepadanya: “Dan ingatlah ketika kamu berkata: “Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang, karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya.” QS 2:55) “Dan orang-orang yang tidak mengetahui berkata: “Mengapa Allah tidak (langsung) berbicara dengan kami atau datang tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada kami?” Demikian pula orang-orang yang sebelum mereka telah mengatakan seperti ucapan mereka itu; hati mereka serupa. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Kami kepada kaum yang yakin.” (QS 2:118) ”Berfikirlah kamu semua perihal makhluk Allah (apa-apa yang diciptakan oleh Allah) dan janganlah kamu sekalian berfikir mengenai Dzat Allah, sebab sesungguhnya kamu semua sudah tentu tidak dapat mencapai keadaan hakikatnya.” (HR. Abu Naim dalam kitab ”Alhilyah, Aqidah Islam, Sayid Sabiq) ”Pikirkanlah tentang segala hal yang dijadikan Allah dan jangan engkau pikirkan tentang zat Allah; (karena kalau itu engkau pikirkan pula) engkau akan binasa sendirinya.” (Hadist dikutip dari buku ”Pandangan Hidup Muslim, DR H. Abd Malik Karim Amrullah, Bulan Bintang, 1961: hal 158) LELAKI MENJELANG SENJA, sang profesor, masih jua mendengar curhat pemuda tersebut lewat teleponnya. Yang kadang terisi tawa dan keindahan nostalgianya bersama Lita… Atau bahkan desahan nafas sesak di dada, karena jiwa terhimpit di atas kerinduan cintanya yang tak berbalas. Pasungan cinta yang menyesakkan, sebagaimana juga yang dirasakannya itu!? Sering orang mencintai, tapi tak berbalas. Bertepuk sebelah tangan. Padahal sudah begitu rupa mengorbankan waktu, tenaga, harta, pikiran, kegelisahan, keresahan, dan sebagainya lagi, demi hanya cinta dan ingat serta rindu pada sang kekasih. Pacar. TETAPI APAKAH IA CINTA, dan selalu ingat, rindu pada sang Kekasih Sejati? Sang Pecinta Asli yang selalu memberi tanpa pamrih? Sudahkah orang menyadari, betapa arti sebuah cinta, yang akan bersambut dan berbalas, lebih dari apa pun yang dimiliki? saking banyak balasan yang akan diterima dan didapati? Tidak hanya di dunia, tapi juga di sana. Di alam yang selalu menanti kehadiran kita setelah mati? TAPI, kegilaan, tetaplah kegilaan. Virus itu banyak menyebar di segenap individu. Secara internal maupun eksternal. Individual ataupun sosial. Dalam global masyarakat pecintanya. DAN LIHATLAH INI, betapa Dia telah berfirman di dalam Hadis Qudsi: “Wahai anak Adam! Apabila engkau ingat pada-Ku dalam keadaan sunyi sepi, aku akan ingat pula kepadamu dalam keadaan sunyi sepi. Dan apabila engkau ingat kepada-Ku di tengah khalayak ramai. Aku akan ingat pula kepadamu di tengah khalayak ramai yang lebih baik dari tempat engkau ingat kepada-Ku.” (HQR Bazzar bersumber dari Ibnu Abbas r.a.) “Aku sesuai dengan hamba-Ku kpada-Ku, dan aku bersama dengannya ketika ia ingat kepada-Ku. Jika ia ingat kepada-Ku di dalam hatinya, Aku pun ingat pula kepadanya di dalam hati-Ku. Dan jika ia ingat kepada-Ku dalam lingkungan khalayak ramai, Aku pun ingat kepadanya dalamlingkungan khalayak ramai yang lebih baik. Dan jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku pun mendekat pula kepadanya sehasta. Dan jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, niscaya Aku mendekat kepadamu sedepa. Dan jika ia datang kepada-Ku berjalan, maka aku mendatanginya sambil berlari.” (HQR Syaihani dan Turmudzi dari abu Hurairah r.a) MAKA …JIKA KAMU masih jua tak mau tahu, patut kan jika aku berkata: “ Aah…. kamu…” Wallahu ’alam. BAGAIMANA KAU MELIHAT GAMBAR INI?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun