Mohon tunggu...
Fatma Elly
Fatma Elly Mohon Tunggu... -

fatma elly, umur 63 th. 20-11-1947. ibu rumah tangga tapi senang juga menulis. pendidikan akademi hubungan internaional.untag. jakarta.islam.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

dialog

24 Juni 2010   15:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:18 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

D  I  A  L  O  G

Oleh: Fatma Elly



DI HADAPANNYA terpampang sebuah cermin. Ia duduk dibangku meja hias menghadap ke cermin itu. Hatinya risau. Betapa tidak? Pantulan cermin tidak menyenangkan. Wajah yang dulu cantik menggairahkan, kini seakan pudar. Tidak lagi berseri. Bahkan kerut-kerut ketuaan mulai menghias kulit. Mata tidak bercahaya. Bibir tidak lagi memerah delima.

Dan kini, ia hanya bisa menatap wajah layu itu penuh dengan keresahan.Kegundahan hati yang diselimuti suara.

“Beginikah akhirnya, Ima?“ Tiba tiba ia seperti mendengar suara itu. Mendenging di telinga, membuatnya semakin pilu.

“Lihatlah Ima, inikah yang kau cari?“seru suara itu pula.

“Kebahagiaankah ini?“

Diamati dan ditatapnya lagi cermin di hadapan dengan seksama. Rasanya ingin dipecahkan saja cermin itu berkeping-keping, agar pantulan diri tak lagi membuatnya resah.

Tapi tidak dilakukan. Ia hanya merasa segan dan malas, seperti tak mau melihat ke cermin itu lagi.

Maka kepala dan wajahnya lalu ditundukkannya perlahan.

Namun suara itu kembali mengganggu.

“Kenapa menunduk Ima? Malukah kau, atau takutkah?“

Dan ia hanya diam saja.

Suara itu kembali menggoda.

“Ya, kau takut Ima. Takut pada kenyataan.“

“Dan alangkah tragisnya, kenyataan itu menyakitkan hatimu bukan?“ ejek suara itu pula.

Ia semakin tersudutkan. Seperti disayat sembilu, ulu hatinya terasa perih.

Namun tak urung, ia masih ingin menyanggah. Mengatasi suara hatinya dengan tanggapan yang berbeda.

“Tidak,“ katanya setengah berteriak, “aku tidak apa-apa. Aku bahagia. Aku sudah berhasil.“

Maka serentak itu, wajahnyapun berubah nanar. Kemerahan membauri, dan kemarahan menyeliputi.

Diamatinya sekeliling. Dilihatnya sekitar. Diingat dan dibayangkannya segala sesuatu.

RUMAH BESAR dengan halaman berumput yang dihiasi kolam renang. Taman pepohonan indah, lengkap dengan kendaraan dan perabotan mutakhir yang di genderungi manusia modern. Mobil mewah di garasi dengan peralatan elektronika yang menyenangkan. Ac, tv, dvd, stereo tape. Sedang di dalam rumah ada home teatre, cd, dvd, tv, taperecorder, dan segala macam hiasan interior. Satu stel kursi sofa, lemari pajangan, lampu kristal, lukisan, sampai permadani Iran, dapur modern dengan kompor gas dan alat penghisap udara tak sedapnya. Kulkas, mesin cuci, pokoknya keperluan dan alat rumah tangga yang menyenangkan perempuan.

“Ya,“ katanya pula menguatkan hati. “Aku memang sudah berhasil, bahagia.“

Sekilas wajahnya menampakkan kepuasan dan kebanggaan.

Namun itupun tidak lama. Suara lain kembali menghuni hatinya.

“Tetapi………….. “

Dan ia seperti merenung-renung. Memikir-mikir lagi.

“Bukankah rumah ini sepi?“ katanya. “Tiada tawa dan canda anak? tiada belai kasih seorang suami, seorang lelaki?“

Perasaannya terhimpit pula. Tertekan dan ter ejek lagi. Tak tahan untuk tidak menumpahkan segala rasanya itu, maka ia pun menangis. Dantangisan itu begitu menyayat.

***

SEGALA SESUATU kemudian membayang. Memantulkan cerita dalam benak, atas kejadian dan perjalanan hdup yang dialami.

“Aku mencintaimu Ima,“ ucap Adhi kala itu, sebagaimana ucapan pemuda-pemuda lain yangdikenal, digauli dan dilayaninya.

“Mencintai?“ pikirnya.

“Patutkah ia mencintaiku?“

Dan ia mulai menganalisa:

Adhi pemuda tampan, tapi tak memiliki harta. Herman pemuda baik, tapi membosankan. Demikian pula Toni, pemuda cerdas dengan wawasan luas, tapi memliki kelemahan. Sedang Sujatmiko, keturunan ningrat, melankolis, tak menarik. Berikutnya Ridwan, Rudy, bahkan beberapa pemuda lagi, namun kesemuanya tetap jua tak memuaskan.

Ada yang sudah bekerja, mempunyai kedudukan dan jabatan, bahkan makelar papan atasdan pengangguran bergaya dasi dan gengsi.

Yah banyak kalangan sudah dikenal. Dari yang berstatus maupun tidak. Pokoknya serba kurang menurut penilaiannya. Apalagi bila dibanding dengan dirinya sebagai manifestasi kesetaraan yang nyata.

Dan lagi, kenapa mesti mencintai dan menikah? Mesti berumahtangga segala?Bukankahkah itu hanya merepotkan dan memberi beban belaka?

Bayangkan saja; hamil, melahirkan, mengurus anak, wah repot sekali. Apakah pergaulan tak bisa menjalin persahabatan, pertemanan yang menyenangkan hati?Bukankah cinta dan pernikahan hanya cerminan dari rasa egoisme? Bahkan pula determinisme?Ingin memiliki, dan ketidakberdayaan diatas bentukan budaya sosial?

Hm tidak. Ia tidak mau seperti itu. Ia adalah Ima Femina yang bebas. Ia harus mencari kebahagiaannya sendiri melalui kemampuan kemandiriannya sebagai seorang manusia. Seorang perempuan yang setara. Sama sederajat dengan lelaki!

IAPUN lalu memacu diri. Bekerja keras demi cita-cita. Meraih karir dan kedudukan. Apalagi telah mendapat titel sarjana. Seorang arsitek muda yang supel dan cantik, bukankah mudah memperoleh apa yang diinginkan?

Segala tetek bengek cinta dan pernikahan, tidak mau digubris. Asyik dengan dunianya sendiri. Dunia kesibukan dan kesenangan. Kerja keras memperlihatkan identitas. Eksistensi yang ingin diakui, dihargai dan dihormati. Obsesi atas perinsip yang dianut.

Sebagai suatu hiburan atau kesenangan, jika ada lelaki yang mengajaknya pergi,menemani kemanapun suka, diluangkan waktunya untuk itu.

Yang penting hatinya senang. Bukan terikat. Apalagi didominasi cinta atau terobsesi pernikahan. Yang bagi orang lain mungkin sakral, kewajiban atau tanggung-jawab atas pergaulan dan rasa cinta. Apalagi agama yang menganggap pernikahan dan institusi keluarga sebagai fitrah!

MAKA IMA FEMINA TETAP BERKELANA. Dari satu lelaki ke lelaki yang lain. Dari satu hiburan, ke hiburan lain. Dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain. Dari satu kegiatan ke kegiatan yang lain.

Bukankah ia aktifis?Pembela hak asasi dan kebebasan perempuan?

Maka waktunya disibuki aneka ragam kegiatan dan pekerjaan. Dan itulah cerminan hidup perempuan modern masa kini. Bukan perempuan yang menerima apa yang dititahkan lelaki, di dalam sistem patriarki yang tidak adil. Dikurung dalam perilaku domestik tanpa bisa berkutik. Dibungkus dalam busana muslimah hingga gerah. Tidak terlihat apa-apa kecuali wajah dan tangan, bahkan ada yang wajahnya ditutupi cadar.

Tidak. Ia bukan seperti itu.

PADA ZAMAN yang super modern ini, rupanya masih saja ada orang yang berpikir dan berperilaku kebelakang. Meniru dan mencontoh budaya Arab abad pertengahan.Alangkah kasihanny!Pikirnya.

Apakah mereka, perempuan-perempuan semacam itu, tak mau sadar? Bahwa hak asasi mereka telah dinjak-injak? Kemerdekaan mereka telah dirampas? Kebahagiaan mereka telah direnggut? Bahwa mereka hidup didalam tekanan dan dominasi kaum lelaki ?Tradisi yang semena-mena?

Sudah diperlakukan seenaknya, dengan kekerasan fisik dan psikologis, dan, dipoligami lagi.Alangkah bodohnya. Tidak. Ia tidak mau seperti itu.

Dan ia pun semakin semangat memperopagandakan pahamnya. Semakin semangat memperopagandakan prinsipnya. Seolah pejuang sejati kaum perempuan. Pembela keadilan dan kemanusiaan!

Hingga akhirnya ia pun terbentur waktu dan keadaan. Umur dan kenyataan,. Menua dan melemah. Tak kuasa menahan serbuan penyakit di tengah jeritan sanubari yang tak mau dijajah. Terkuak menguak diatas topeng-topeng yang dibuatnya sendiri!

***

MEMANG, kali ini ia benar-benar bingung. Takut, kacau, resah, cemas.

SUDAH SEBULAN tubuhnya terbaring lemah. Dua pekan dirumah sakit, dua pekan lagi d rumah sendiri. Sedang pendapat dokter mengenai penyakitnya itu masih simpang siur. Walau berbagai tes laboratorium telah dijalani. Hingga akhirnya membuatnya bosan tinggal dirumah sakit, dan pulang kerumahnya sendiri. Minum obat-obatan herbal tradisional yang dianugerahkan Sang Pencipta, seperti yang dianjurkan bibi, dan doa tulus yang dipanjatkannya. Yang rupanya lebih manjur dan cocok kedirinya, ketimbang obat dokter. Sehingga tubuhnya sedikit demi sedikit mulai pulih kembali.

Walau badannya masih terasa lemah, namun ia sudah bisa bangkit melangkah perlahan arah kemeja hias. Duduk pada bangku d hadapan cerminnya.

“Heh,“ desisnya berat menarik nafas. Setelah sejenak mengurai kembali perjalanan hidup, dan tangisnya terhenti.

Kepala dan wajah diangkatnya kembali menghadap cermin.

Diamati lagi wajahnya dicermin itu. Seraut wajah pucat tak bergairah, ditengah ketuaan yang melanda, dan kelemahan yang menerpa akibat penyakit.

KALAU SEKIRANYA jarum jam bisa diputarbalik, maka tentu akan di putarnya kembali. Tapi kenyataan adalah kenyataan. Ia tidak bisa merubahnya. Minimal detik itu. Detik dimana ia masih digelanduti suara-suara, bayang-bayang, dialog-dialog, pikiran dan angan-angan.

“Ima, Ima,“kini banyak suara seakan menggoda dan mengejeknya kembali.

“Dulu kau dengan seenaknya mencampakkan kami, ketika kami menyatakan cinta dan ingin mempersuntingmu. Bagimu jalinan hubungan hanyalah untuk kesenangan dan hiburan.Maka sekarang, bukankah kau sudah tercampakkan Ima? “

“Lihatlah tubuhmu yang kurus dan lemah itu. Lihatlah wajahmu yang pucatdan layu itu. Bahkan sakit-sakitan lagi. Dimanakah keangkuhanmu dulu itu Ima? Dimana!? “seru suara-suara itu pula setengah berteriak, seolah melampiaskan dendam yang tertahan.Membuatnya bingung, kesaldan kacau kembali.

“Kalau boleh diumpamakan, dirimu itu semacam, maaf Ima, terpaksa kami katakan, makanan yang tersisa. Makanan yang sudah basi. Seonggok sampah yang menjijikkan!“

DUHAI, ia terpukul sekali mendengar ini. Ia marah sekali. Berani sekali suara itu. Ia Ima Femina.P pejuang hak asasi dan kebebasan perempuan, dikatakan seperti itu?!Apakah karena sekarang ia bertubuh lemah? Sakit-sakitan. Tidak muda. Sepi sendiri di dalam rumah yang besar dan serba mewah? Menangis terisak dengan segala kerisauan dan kegundahan hati?Bingung, cemas, takut, dan sedih?

Maka tanpa tangis dan air mata lagi, dengan kemarahan yang meletup-letup, ialempar cermin itu dengan vas bunga plastik yang ada di meja hiasnya. Keras, keras sekali. Walau tetap didalam keterbatasan tenaganya yang tersisa. Tenaga seorang Ima Femina yang sudah dilanda ketuaan dan kelemahan. Terganggu psikologisnya oleh kenyataan yang dihadapi.

Di tengah suara dentingan vas bunga keramik yang dilempar, cermin yang terkena lemparan hingga rengat dan retak, menimbulkan bunyi yang membisingkan, maka Ima Femina pun lalu menutup telinganya rapat-rapat. Kedua tangannya mencengkeram kuat di situ.

Tidak. Ia tidak mau melihat cermin itu. Ia tidak mau mendengar suara itu. Ia benci. Ia muak. Persetan semuanya !

DENGAN TERGOPOH, panik dan terseok-seok, ia bangkit dari bangku meja hiasnya, melangkah dengan tubuh yang sempoyongan. Hilang keseimbangan, menghambur ke tempat tidur dengan nafasnya yang tersengal. Menelungkup tengkurap dengan kedua tangan memegang dan mencengkeram telinganya!

Ia tidak tahu harus berbuat apa.

Tapi itulah yang dilakukan.

Terjadi secara reflek diatas kebingungan dan kekacauan diri. Sakit, panik, bingung, cemas, takut dan, marah! Seolah ingin melupakan semua, meninggalkan semua, bebas, lepas, tanpa harus terikat dan terbebani!

NAMUN TAK URUNG ia adalah seorang Ima Femina. Seorang manusia. Seorang perempuan yang tidak bisa berlari dari fitrah kemanusiaan dan keperempuanannya yang serbalemah dan terbatas.Dan telah mengikatnya tanpa disadar!

Bahkan kinipun, ketika cermin telah retak, vas bunga pecah, tubuh lemah terbaring menelungkup dengan kedua tangan menutup telinga, ia masih dibayang-bayangi pikiran dan ketakutan. Dibayang-bayangi suara dan dialog, angan-angan dan prasangka, khayalan yang beragam!

“Apakah aku terima?“

“Kalau tidak, bukankah rumah ini sepi, tiada tawa dan canda anak?“

Tetapi, masih bisakah aku memperoleh anak? Bukankah usiaku sudah empat puluh lima tahun; seperti makanan tersisa dan basi.S seonggok sampah menjijikkan seperti kata suara-suara tadi?Sedang ia seorang lelaki loyo. Tujuh puluh tahun?“

“Hm tidak. Tidak mungkin. Suatu pernikahan yang lucu. Tidak ada manfaatnya. Sangat menertawakan. Lagipula, bukankah berlawanan dengan prinsipku dulu?“

Lalu tubuhnyapun seperti menggigil. Ingat pada sakit yang pernah diderita.Kematian yang akan menimpa.

Dan ia menjadi sedemikian takut dan cemasnya.

“Alangkah seram, kalaumati tanpa seorang pun mendampingi,“ pikirnya.

***

BEGITULAH, ia terus juga berdialog. Bingung dan kacau untuk menentukan jawaban atas pinangan seorang lelaki berumur tujuh puluh tahun, yang memiliki tiga orang istri dan lima belas orang anak, di tengah keterpurukan dan ketersudutan dirinya menghadapi kenyataan. (Dialog, dari buku kumpulan cerpen Serial Gender; "Malam Ini Tak ada Cinta", Fatma Elly, Establitz, 2006)

Wallahua’lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun