Masa sekolah adalah masanya seseorang berimajinasi, mempunyai mimpi tinggi-tinggi, belajar memahami sesama manusia dalam pertemanan, mendengarkan nasihat yang diulang ulang dari guru-guru yang kadang menyebalkan, merasakan sakit hati, merasakan haru, menyakiti dan disakiti, lalu suatu saat kita sadar, bahwa nasihat-nasihat guru tersebut adalah petuah baik di masa depan. Dan hidup sosial bermasyarakat tidak lebih adalah realitas dari sebuah sekolah yang besar dan lebih banyak orang yang berkelompok.
Orang dewasa adalah pembunuh mimpi
Lihatlah berita anak-anak zaman sekarang. Pembulian, pemerkosaan, pembunuhan... darimana semua itu berasal? Dari KITA, dari orang dewasa. Dari para orang tua yang belum mampu menjadi orang tua. Dari masyarakat yang enggan untuk memiliki pengetahuan tentang kehidupan. Dari para orang dewasa yang hanya membawa angka s ebagai tolok ukur sebuah kebijaksanaan.
Orang dewasa takut dicap kuno. Dan mereka menerapkan prinsip itu dalam diri anak-anak. Memberikan hape, membiarkan mereka menonton konten receh berjam-jam, biarlah saya dibenci karena gagasan ini, karena saya peduli pada masa depan bangsa.
Mengedukasi siswa yang seharusnya mudah, jadi sulit karena ideologi kolot para wali muridnya.
Mimpi dan Idealisme
Bagi banyak orang dewasa mimpi itu mahal. Mimpi itu gratis tapi tak semua punya mimpi. Seni, buku dan film fantasi adalah sarana yang bisa menumbuhkan imajinasi anak-anak, bukan konten sosial media. Seni, buku, dan pengetahuan informasi adalah sarana agar anak mempunyai akal yang jernih untuk mewujudkan mimpi-mimpinya, bukan konten sosial media random.
Coba perhatikan orang-orang dewasa yang masa remaja dahulu mereka habiskan waktunya dengan pesta-pesta, foya-foya, keluyuran nongkrong, dan pacaran, abis putus, langsung cari pacar lagi, entah karena gengsi atau kesepian. Bedakan sama orang-orang dewasa yang masa remajanya habis bareng buku, film, olahraga, seni (gak mesti ranking 1). Coba bedain dewasanya mereka kayak apa.
Anak yang selalu pacaran dan bersenang-senang akan menerapkan parenting seadanya pada anak-anak mereka. Sedangkan anak yang suka eksplorasi pengetahuan melalui buku, film, bahkan seni, akan menerapkan parenting open mindful pada anak-anak mereka.
Tidak semuanya, tetapi coba bedakan.