sekolah dimana saja tidak masalah  karena semua ijazah itu sekolah sama?
Apakah memang begitu kenyataannya?
Kalau menurut saya, 'semua ijazah sekolah sama' itu betul, alasannya tidak lain karena memang yang mengesahkan adalah pusat, tapi konteks bahwa sekolah di mana saja itu sama, saya agak skeptis. Sekolah di kota-kota besar sangat berbeda dengan yang di desa. Mulai dari segi pergaulan dan kehidupan sosial serta fasilitas. Berbeda dengan sekolah yang berada di desa yang kurang fasilitas serta pergaulan tidak sebebas itu. Selain fungsinya sebagai tempat menimba ilmu, dari segi mana yang sama?
Saya ingin membagikan sedikit cerita, dulu saya pernah mendaftar SNMPTN dibantu staf tata usaha. Beliau mendaftarkan siswa-siswa yang berniat melanjutkan kuliah, sayangnya beliau mengatakan kalau sekolah kita kemungkinan sangat kecil untuk lolos. Saat itu saya tidak terlalu paham, tetapi lama-lama saya tahu kenapa beliau mengatakan seperti itu. Saya tidak bilang kalau lulusan pelajar yang berasal dari sekolah favorit selalu lolos SNMPTN, tidak ya. Hanya saja mereka yang berasal dari sekolah berakreditasi A sepertinya memiliki kesempatan yang lebih banyak apalagi jika track record si pelajar yang mendaftar itu bagus.
Analogi saya seperti ini, saya tidak tahu ini cukup sopan untuk anda tapi kala itu, ini membantu saya paham mengapa pelajar dari sekolah favorit lebih mudah lolos dan masuk perguruan tinggi favorit. Ini ada kaitannya dengan 'semua sekolah itu sama karena ijazah toh juga sama'.
Kamu membeli permen dengan merek yang sama serta isinya, rasanya, bahkan bentuknya juga sama. Namun di toko ada 2 pilihan bungkusnya. Bungkus yang pertama berwarna cerah, cantik, ada pitanya, kinclong dan bersih, sedang bungkus ke dua berwarna gelap, tidak ada pitanya, kusam sehingga terkesan kotor padahal tidak. Dua permen tersebut isinya sama, rasanya sama, bahkan merek nya sama, tapi punya bungkus yang berbeda jauh. Sebagai pembeli anda pilih yang mana?
Kita semua tahu tentang teori goodlooking di sosial media dan di tengah-tengah masyarakat globalisasi saat ini. Ya benar, tentu saja yang berwarna cerah dan kinclong yang akan dipilih.
Sama seperti seorang pelajar yang mengikuti seleksi perguruan tinggi. Pelajar adalah sebuah permen sedang akreditasi sekolah adalah bungkusnya. Pelajar pertama cerdas, berkarakter, berjiwa pemimpin, memiliki track record yang bagus dan cover-nya berasal dari sekolah favorit. Kemudian pelajar 2 memiliki spesifikasi yang sama, cerdas, berkarakter, berjiwa pemimpin, memiliki track record yang bagus namun berasal dari sekolah yang biasa saja, kira-kira mana yang akan dipilih penyeleksi?
Sebenarnya analogi ini menjawab pertanyaan saya dulu kenapa saya gak lulus SNMPTN, ya meskipun saya tidak se frustasi itu, tapi ya tetap kecewa. Saya pun mulai paham dengan seleksi alam, bahwa yang datang dari tempat yang tinggi, pasti juga akan dapat tempat tinggi pula.
Karena faktanya sekolah akreditasi A memang sudah tidak diragukan lagi entah dari segi prestasinya, fasilitasnya, spesifikasi gurunya dan lain sebagainya. Jadi siswa yang belajar di sana juga digadang-gadang belajar  dengan lebih baik dari yang lain.
Jadi, kalau mau lolos SNMPTN apakah harus dari sekolah favorit? Saya masih tidak yakin jawaban benarnya apa. Karena ada teman yang lebih cerdas dari saya dan track record nya bagus di sekolah tapi dia tetap gagal, kalau saya sih, saya gak kaget.
Kemudian ada satu contoh lagi, misal dua orang mahasiswa dari universitas berbeda mengikuti wawancara kerja atau wawancara beasiswa, dua-duanya memiliki spesifikasi yang bagus, sayangnya yang satu dari universitas top dan yang satunya dari universitas tidak terkenal. Siapa yang akan dipilih oleh penyeleksi?
Sampai sini saya tidak berpendapat kalau penyeleksi hanya memilih yang memiliki background yang bagus, sama sekali tidak. Tolong jangan disalahpahami. Tapi coba kita pikirkan lagi, jika anda adalah penyeleksi dan harus mengambil 1 dari 2 mahasiswa yang mengikuti wawancara ini, mana yang akan anda pilih?
Kemudian guru akan mengatakan lagi, yang  utama itu bukan sekolahnya tapi siswanya. Saya sangat setuju ini, Pak, Bu. Tapi saya kira itu hanya untuk siswa yang biasa-biasa sekolahnya, maksud saya begini. Tiap sekolah pasti memiliki tipikal siswa yang cerdas, yang biasa-biasa saja dan siswa bandel atau nakal. Siswa yang nakal mungkin atau fakta ya, mereka tidak pernah ke perpustakaan sedang siswa yang merasa butuh belajar mereka butuh perpustakaan. Ada bayak sekolah yang tidak ada perpustakaannya tapi di sekolah favorit akses perpustakaan lebih mudah.  Dan mirisnya akses internet sekarang lebih mudah dari pada akses perpustakaan.
Kalau si pelajar niatnya memang dapat ijazah hanya sebatas untuk mencari kerja, ya ini sih tidak perlu sekolah favorit, sekolah saja paket C. Apalagi kalau hanya untuk melamar kerja di tempat yang tidak memerlukan spesifikasi pendidikan, misalnya di pabrik, mengumpulkan ijazah hanya untuk arsip karyawan. Sedang pekerjaan yang membutuhkan spesifikasi atau profesi, bukan hanya sebatas pekerjaan, yang artinya profesi biasanya memerlukan ijazah tertentu. Misal menjadi guru harus sarjana pendidikan dan menjadi dokter harus kuliah dulu di kedokteran.
Tadi saya bilang ini ada kaitannya dengan 'semua sekolah itu sama karena ijazah toh juga sama'. tergantung si siswa tersebut mempergunakan ijazahnya untuk apa.
Ijazah itu memang sama, tapi pengalaman yang didapat dari setiap sekolah itu berbeda.
Dulu saya tidak tahu bagaimana rasanya mengikuti OSN karena sekolah tidak transparan memberikan informasi tersebut, tapi setelah lulus sekolah dan teman-teman yang belajar di sekolah favorit bercerita kalau mereka pernah mengikuti OSN semasa sekolah entah menang atau tidak. Saya jadi sadar bahwa yang namanya pengalaman tidak bisa dibeli. Saya tidak menyalahkan sekolah yang tidak berakreditasi A. Saya hanya menyaring secara nalariah apa yang dahulu banyak guru katakan kalau semua sekolah itu sama karena ijazah juga sama, itu semua memang tergantung si pelajar itu sendiri. Saya sampai sekarang yakin bahwa banyak anak-anak cerdas di desa-desa yang masih belum mendapatkan pendidikan yang layak, karena banyak daerah yang sulit aksesnya, saya yakin banyak anak Indonesia yang cerdas.
"Dimana kamu menuntut ilmu, tidak membatasi mimpimu."
Meskipun kadang background memang menjadi tolak ukur, tapi kualitas seseorang tetaplah patokan sumber daya manusia yang dapat memberi kebermanfaatan bagi banyak orang, bagi negara, keluarga dan bahkan orang itu sendiri. Jadi jangan batasi mimpimu hanya karena dari sekolah atau universitas yang biasa-biasa saja.
Jadi, semua ijazah itu memang sama, yang berbeda adalah pengalaman yang didapatkan di masa sekolah.
Sekian. Terima kasih
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H