"Apakah bersikap seperti ini menunjukkan kita sudah dewasa?"
"Apakah bersikap seperti itu tidak kekanak-kanakkan?"
"Kamu jangan bersikap seperti ini, Jangan berperilaku seperti itu, malu-maluin tahu!"
Sebenarnya apa itu arti dewasa? Apakah aku sudah dewasa? Apakah kamu sudah dewasa? Apakah semua orang yang sudah lulus sekolah sudah dewasa? Apakah orang yang sudah menikah sudah dewasa? Apakah dewasa berarti menyimpan rasa sakit untuk diri sendiri? apakah seorang dewasa berdosa jika mengeluh? Apakah berdosa jika banyak tertawa?
Percayalah, jika seseorang memiliki pertanyaan-pertanyaan ini di benak mereka, tidak salah lagi mereka sedang mengalami krisis eksistensi diri. Meragukan bahkan tidak mempercayai diri sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang cukup membuat seseorang berkontemplasi mengenai apa yang telah ia lakukan di masa lalu atau apa yang ingin dicapai di masa depan. Serba membingungkan.
Kemarin ibunya Paijo bercerita bahwa anak tetangganya meraih medali emas di pertandingan lari estafet nasional. Ia mengatakan kalau sudah sepatutnya seorang atlet membawa pulang medali.Â
Kalau-kalau gagal toh masih disebut seorang atlet. Ya seenggaknya job yang nggak malu-maluin. Lalu, ayah Paijo menanggapi dengan sedikit sarkas tentang adik Paijo, Paiko, yang kemarin pulang larut malam karena berpesta dengan teman-temannya di salah satu rumah temannya.
Ibu menanggapi tidak ada salahnya kalau anak remaja bersenang-senang, "Mereka belum dewasa," kata Ibu.
Ayah yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan menenteng koran terbahak entah menertawakan apa. Mungkin kamu yang masih awal 20-an sekarang, mungkin saja, mungkin saja ya, tengah menonton berita infalsi harga saham bursa efek di depan TV, seketika menoleh mendengar suara ayah yang tertawa keras sekali seperti badut yang berusaha menyenangkan anak-anak di taman bermain.
"Kalo ikutan pesta anakku yang masih remaja, apa kamu akan memarahiku karena kekanakk-kanakkan?" tanya ayah pada ibu, yang terdengar seperti menyulut api pertengkaran.
Dan benar ibu marah dan melempar celana kolor milik ayah dan berakhir dengan cek-cok ringan. Paiko keluar dari kamar dan meneriaki mereka sambil mengatakan "Ayah! Ibu! Aku tidak berpesta di rumah temanku! Kenapa kalian selalu bilang aku pesta di rumah teman? Kalian bahkan tidak melihatku mengerjakan PR di kamar!"
Sejak kejadian itu, ibu tidak pernah membahas masalah Paiko yang masih remaja, malah sebaliknya, ia selalu mengelus rambutnya di pagi hari sambil mengatakan, "Wah anakku ternyata sudah dewasa".Â
Namun yang Paijo lihat janggal adalah, sejak itu adikku tidak pernah meminjam PS dari kamarnya ataupun diam-diam mencurinya, dia tidak pernah mengajak kakaknya tanding di turnamen mobile legend lagi.
Hingga suatu hari Paijo mendapati adiknya di pojok gerbang sekolah. Hari masih pagi, ia berjongkok dan membuka dasi biru putihnya paksa dan melemparnya kasar di selokan. Paijo sedikit terkejut. Saat berbalik, Paiko menutupi mata sembabnya dengan lengan. Ternyata ia... tengah menahan menangis.
Sejak kejadian itu juga, Ibu dan ayah selalu memanjakan Paiko dengan mengatakan hal yang sama tiap pagi. "Anakku ternyata sudah dewasa," sambil tertawa lebar. Dan Paiko hanya tersenyum kaku dengan tatapan yang mudah dibaca oleh orang lain, setidanya oleh kakaknya, Paijo.
Ada orang-orang yang mengira kita dewasa. Ada orang-orang yang dengan sebal mengatakan kita masih anak-anak. Ada tuntutan orang-orang disekitar kita bahwa kita harus melakukan sesuatu yang disebut dewasa.
Pertanyaan disini bukan "Sebanyak apa aku bisa melakukan hal yang dianggap dewasa?" tapi "Sebanyak apa aku memenuhi keinginan orang lain agar mereka mengaggapku dewasa?"
Paiko, menurut usia biologis ia disebut remaja, dan di rumah ia diperlakukan lebih baik dari Paijo yang notabenenya kakaknya yang lebih tua. Mengapa ini terjadi? Tidak lain adalah ia yang terlanjur mendapat sikap yang demikian. Awalnya nyaman, senang, namun lelah dengan sebutan "dewasa".
Lalu mulai berpikir "Ibu dan ayah lebih suka aku yang dewasa. Kupikir menahan kesenanganku sedikit lebih lama, lebih baik."
Hingga pernyataan tersebut berubah menjadi pertanyaan serius "Kenapa cuma aku yang harus pura-pura dewasa di sini?"
Lagi-lagi stereotip dimana tempat kita tinggal lah yang memang, memang pada akhirnya mendewasakan kita, dengan tanda kutip berbeda tiap lingkungan.Â
Definisi dewasa sendiri berbeda, tergantung bagaimana lingkungan membesarkan kita, tergantung bagaimana orang-orang menyadari keberadaan kita, tergantung bagaimana kita memfilter pikiran kita dan opini orang-orang disekitar kita.
Stop dulu! Saya gak menyalakan orang tua, ataupun keluarga. Cerita diatas hanyalah contoh bagaimana seorang remaja disetel menjadi dewasa secara perlahan, sangat pelan.Â
Bukannya mereka dari keluarga berantakan, sebaliknya, mereka dari keluarga yang cukup baik dan bahagia. Bukan trauma atau keluarga kurang harmonis, tapi semua jenis keluarga atau orang-orang terdekat kalian selalu mempunyai cara membesarkan anaknya masing-masing. Proses yang berjalan bersama itu, disebut proses kedewasaan.
Kita semua bertambah usia, memiliki teman, kehilangan teman, bersekolah, ngobrol dengan keluarga bahkan pacaran. Hal-hal kecil itu yang kadang gak kalian sadari sesungguhnya mendewasakan kalian.Â
Rasa sakit, rasa lelah, bahagia, bangga dan perasan nostalgia, kadang membuat kita lebih bijak. Pengalaman membuat kita paham sebenarnya kita mengartikan dewasa sebagai apa? Seperti apa? Tiap hari kita belajar menjadi orang yang patut dihargai, tiap hari kita juga belajar bagaimana menerima orang dengan baik.Â
Tiap hari kita belajar bagaimana mengakui kekalahan dan mengembangkan kepribadian yang lebih baik, dan belajar menjadi "dewasa" yang pantas bahagia, sedikit demi sedikit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H