Oleh:Fatma Taher
Di ufuk timur, saat fajar masih remang
Tanjung Mafutabe berdiri kokoh, diam tanpa bimbang
Angin membawa harum laut yang membasuh luka
Namun tak meredam jejak sejarah yang tersimpan di dada
Di sana, di tanah berpasir merah,
Nenek Amina Sabtu dengan tangan keriputnya
Menggenggam erat bendera yang terjahit dalam doa
Setiap benang yang ia rajut adalah janji kepada bangsa
Abdullah, dengan mata yang menyala oleh semangat
Menyambut bendera yang penuh dengan harapan
Di ujung tiang yang tinggi menjulang
Merah putih perlahan-lahan terbang, memeluk langit yang lapang
Mereka bukanlah pahlawan dengan pedang dan senjata
Namun darah dan doa mereka tertanam di tanah ini
Di Timur Indonesia, di ujung negeri yang kadang terlupa
Mereka mengibarkan kebebasan, meski dalam sepi dan sunyi
Di Tanjung Mafutabe, tak ada sorak atau gemuruh
Hanya deru ombak yang menyapa
Namun dalam hening, doa Nenek Amina dan Abdullah mengalun
Mengiringi bendera yang berkibar, menjadi saksi bagi anak-cucu bangsa
Darah yang tertumpah bukan untuk menangis
Doa yang terucap bukan sekadar harapan
Di Timur Indonesia, di bawah langit yang sama
Mereka telah merajut mimpi dalam merah putih yang setia
Mafutabe, tempat di mana bendera berkibar
Menjadi saksi abadi bagi mereka yang bertaruh nyawa
Dalam darah yang tertumpah, dalam doa yang tulus mengalir
Mereka telah mengikat sejarah, yang tak akan pernah pudar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H