Akhir-akhir ini dunia pendidikan dihebohkan dengan pengangkatan seorang menteri pendidikan dan kebudayaan (mendikbud) Â yang dianggap tidak lazim. Mendikbud biasanya dijabat oleh akademisi kampus.Â
Namun kali ini keputusan Presiden Jokowi dipandang "nyleneh" karena mengangkat menteri seorang bos gojek. Kebehohan tidak berhenti sampai di situ saja. Kehebohan masih terjadi dengan pernyataan-pernyataan yang dilontarkan beliau, ketika pidato di hari pendidikan maupun pidato di forum-forum resmi.
Konsep mendikbud yang paling mengemuka adalah merdeka belajar, yang diimplementasikan dalam 4 kebijakan, yaitu UN sampai tahun 2020 dan 2021 diganti dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survey Karakter, US (Ujian Sekolah) diserahkan kepada sekolah, PPDB zonasi diberikan kelonggaran kepada daerah dan penyederhanaan RPP.Â
Selain itu mendikbud menyatakan bahwa gelar belum tentu menunjukkan kompetensi, akreditasi belum tentu menunjukkan mutu. Sementara itu beliau juga menyatakan bahwa saat ini konten (mata pelajaran) itu bukan hal yang penting.Â
Dari pernyataan-pernyataan itu sebenarnya mas menteri itu mengkritik konsep "persekolahan" saat ini. Seakan-akan konsep sekolah yang hanya mengedepankan konten.Â
Sebenarnya bila kita tilik, konsep "persekolahan" itu tidak mengedepankan konten semata, namun juga yang lebih penting bagaimana cara mendapatkan konten itu. Konsep itu sejak dulu, sebelum kurikulum 2013, sebelum digaungkan pembelajaran HOTS yang saat ini diterapkan dalam program PKP (Peningkatan Kompetensi Pembelajaran).Â
Namun pada tataran implementasi, pembelajaran HOTS yang menekankan penalaran tidak bisa berjalan dengan mulus. Siswa lebih dominan "dijejali" dengan konten yang padat dengan beraneka ragam mata pelajaran. Bahkan di kurikulum 2013 sudah ada peminatan masih saja "dijejali" dengan mata pelajaran "lintas minat".Â
Asesmen Kompetensi Minimum yang akan diterapkan pada tahun 2021 itu juga tidak mengedepankan konten atau mata pelajaran, Â karena yang dikuru bukan berdasarkan standar kompetensi lulusan mata pelajaran. Adapun yang diukur adalah kemampuan literasi (kemampuan memahami bacaan) dan kemampuan numerasi (kemampuan berpikir matematis). Kedua kemampuan itu sebenarnya adalah efek dari pembelajaran di sekolah. Ketika pembelajaran sudah HOTS maka otomatis kemampuan literasi dan numerasi akan baik.Â
Saya mengibaratkan konsep yang digagas oleh mas menteri itu, lebih mementingkan siswa diberikan pancing dari pada ikan. Bila hanya siswa diberi ikan maka ketika ikan habis, tidak bisa mencari ikan lagi, karena siswa kurang terlatih bagaimana cara memancing mencari ikan. Konsep itu sebenarnya sejak dulu.Â
Pembelajaran berpusat pada siswa, guru hanya sebagai fasilitator itu sudah sejak dulu konsepnya ada, namun dalam tataran implementasi tidak berjalan dengan mulus. Mungkin salah satu penyebabnya adalah materi pelajaran terlalu padat. Sehingga yang dikejar adalah konten, bukan cara mendapatkan konten. Ibaratnya hanya diberi ikan bukan diajari cari memancing ikan.
Nah, sekarang mas menteri akan meluruskan konsep itu. Yang penting itu cara mendapatkan konten itu. Konten tetap penting namun yang lebih penting adalah cara mendapatkan konten. Ketika siswa lulus, tidak semua konten yang dipelajari di sekolah itu dapat dipakai, tidak semua sesuai dengan dunia nyata yang digeluti. Ketika siswa sudah dibekali cara mendapatkan konten maka konten apapun dapat dicari secara mandiri ketika lulus.Â