Oleh: Eka Septia Maharani, Azkia Nur Aeni, Fatkhiyatul Hidayah
Kesenjangan gender di tempat kerja adalah isu penting yang masih memengaruhi banyak negara, termasuk Indonesia. Meskipun pertumbuhan ekonomi dapat menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan, ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan, terutama dalam akses pekerjaan, perbedaan gaji, dan keterbatasan perempuan dalam posisi pengambilan keputusan masih terjadi. Di Indonesia, rendahnya partisipasi perempuan di pasar kerja dan kesenjangan signifikan dalam hal penghasilan serta peluang karier menjadi bukti nyata dari masalah ini.
Walaupun berbagai kebijakan telah diterapkan untuk mengurangi diskriminasi gender, namun hasil nyata di lapangan masih terbatas. Kesetaraan gender tidak hanya terkait dengan keadilan sosial, tetapi juga berdampak pada efektivitas organisasi dan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, muncul pertanyaan penting: bagaimana kesetaraan gender dalam pengambilan keputusan dapat menciptakan kolaborasi yang lebih adil dan efektif di lingkungan kerja?Â
Salah satu hambatan utama dalam mencapai kesetaraan gender adalah stereotip terhadap perempuan. Stereotip ini muncul dari pandangan atau keyakinan yang sering kali keliru tentang kelompok tertentu, yang dapat mengarah pada penilaian negatif atau bahkan merendahkan. Dalam konteks gender, stereotip biasanya menggambarkan maskulinitas sebagai atribut ideal bagi laki-laki, sementara perempuan dianggap lebih sesuai dengan sifat feminin. Pandangan ini menciptakan hierarki sosial yang memengaruhi cara laki-laki dan perempuan diperlakukan. Akibatnya, laki-laki sering mendapatkan keuntungan lebih besar, sedangkan perempuan dianggap kurang rasional dan terlalu emosional, berbeda dengan laki-laki yang dianggap logis dan kuat. Pandangan seperti ini tidak hanya menghambat peluang perempuan, tetapi juga membatasi potensi mereka di berbagai bidang, termasuk dalam pengambilan keputusan di tempat kerja (Afifah, 2024).
Selain itu, stereotip gender juga mempersempit peran perempuan di masyarakat. Misalnya, perempuan sering kali diasosiasikan dengan peran "ibu rumah tangga," sementara laki-laki dianggap sebagai "pencari nafkah utama." Pandangan seperti ini memperburuk ketimpangan dalam akses kerja dan pengakuan terhadap kontribusi perempuan. Banyak pekerjaan yang dianggap "cocok" untuk perempuan, seperti bidang administratif atau sosial, sering kali dipandang kurang bernilai dibandingkan dengan pekerjaan yang didominasi laki-laki, seperti posisi manajerial atau sektor teknis.
Penelitian menunjukkan bahwa perempuan sering kali memikul tanggung jawab yang lebih besar daripada laki-laki, yang pada akhirnya menciptakan ketidakadilan gender. Salah satu contoh nyata adalah perbedaan gaji, meskipun pekerjaan yang dilakukan setara. Ketidaksetaraan ini tidak hanya merugikan perempuan secara individual, tetapi juga menghambat perkembangan organisasi, karena mereka kehilangan kontribusi perempuan yang seharusnya dapat menghasilkan keputusan yang lebih efektif dan inovatif.
Selain menghadapi stereotip, perempuan juga kerap dibebani oleh tanggung jawab ganda, terutama mereka yang bekerja di luar rumah namun tetap harus mengurus pekerjaan domestik. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan masih menangani hampir 90% pekerjaan rumah tangga, meski mereka juga memiliki tanggung jawab di tempat kerja. Akibatnya, waktu dan energi mereka harus terbagi antara urusan rumah dan pekerjaan profesional.
Walaupun saat ini pembagian tugas rumah tangga mulai lebih fleksibel dan tidak lagi kaku berdasarkan jenis kelamin, ketimpangan masih sering terlihat. Perempuan umumnya tetap memikul tanggung jawab utama untuk mengurus anak, memasak, dan membersihkan rumah, meskipun mereka juga bekerja untuk menambah pendapatan keluarga. Kondisi ini sering kali menghambat perkembangan karier mereka dan menyulitkan mereka untuk mencapai posisi penting dalam pengambilan keputusan (Biroli & Satriyati, 2021).
Masalah lain yang memperburuk ketidaksetaraan gender adalah kekerasan berbasis gender di tempat kerja. Bentuknya bisa berupa kekerasan fisik maupun nonfisik, seperti pelecehan seksual, diskriminasi, hingga intimidasi. Kondisi ini tidak hanya berdampak buruk pada kesejahteraan psikologis perempuan, tetapi juga membuat mereka merasa tidak dihargai dan tidak aman di lingkungan kerja, yang semakin memperparah ketimpangan yang ada.
Dengan mengatasi tantangan-tantangan ini, kita memerlukan pendekatan yang menyeluruh. Penelitian menunjukkan bahwa keberagaman gender dalam pengambilan keputusan menghasilkan inovasi dan produktivitas yang lebih tinggi. Oleh karena itu, penting untuk menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan mendorong keterlibatan perempuan di berbagai level organisasi (Nuraeni & Lilin Suryono, 2021).