Perkembangan kota di berbagai dunia termasuk Indonesia mengalami peningkatan signifikan setiap tahunnya (Novikov & Pronkin, 2019) memicu urbanisasi masif. Urbanisasi ini mendorong masyarakat untuk berpindah ke kota, namun disamping itu menimbulkan tantangan seperti munculnya permukiman kumuh, kemacetan, serta permasalahan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Urbanisasi di Indonesia meningkat pesat, merujuk pada Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada tahun 2020, 56,7% penduduk tinggal di perkotaan, dan angka ini diprediksi naik menjadi 66,6% pada tahun 2035. Bahkan, Bank Dunia memproyeksikan bahwa pada tahun 2045 sekitar 70% penduduk Indonesia atau 220 juta orang akan tinggal di kota. Kota Bandung telah menjadi tujuan urbanisasi utama bagi masyarakat Jawa Barat. Hal ini sejalan dengan pernyataan Nurwati (2015) yang menyebutkan bahwa jumlah penduduk musiman di Bandung terus meningkat setiap tahunnya.Â
Pertumbuhan ekonomi yang pesat menjadi faktor utama yang mendorong Bandung sebagai pusat urbanisasi dan menjadikan Bandung sebagai kota metropolitan terbesar ketiga setelah Jakarta dan Surabaya (Prihatin, 2015). Tingginya angka urbanisasi ini memberikan dampak negatif yang serius, seperti alih fungsi lahan (Nurwati, 2015). Alih fungsi lahan ini diakibatkan karena meningkatnya kebutuhan permukiman. Pertumbuhan jumlah penduduk yang signifikan memicu terhadap kebutuhan lahan seperti peningkatan pemukiman, kebutuhan infrastruktur dan sarana kota. Akibatnya, terjadi alih fungsi lahan yang dilakukan besar-besaran. Menurut Prihatin (2015), peningkatan jumlah penduduk mengharuskan adanya penambahan ruang, sementara kapasitas ruang di perkotaan tidak dapat bertambah. Fenomena alih fungsi lahan, seperti perubahan dari lahan hijau menjadi pemukiman, merupakan konsekuensi dari pertumbuhan penduduk yang tinggi (Sasono, 2015).
Konsep Smart City telah menjadi pendekatan yang populer dalam pengembangan kota untuk mengatasi berbagai permasalahan yang timbul akibat pesatnya urbanisasi. Menurut Praharaj & Han (2019), Smart City pertama kali muncul sebagai respons terhadap tantangan urbanisasi abad ke-21, termasuk ketimpangan pembangunan antar wilayah, seperti yang diungkapkan oleh Nugroho (2018). Dengan tujuan mengurangi ketimpangan pembangunan, Smart City memberikan solusi yang dapat meningkatkan angka kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan kota. Fokus utama dari konsep ini adalah integrasi teknologi dalam infrastruktur kota, yang memungkinkan optimalisasi fungsi kota, mulai dari administrasi, pengelolaan infrastruktur, hingga pembangunan yang berorientasi pada keberlanjutan lingkungan (Axelsson & Granath, 2018; Kominfo, 2020). Selain itu, Smart City juga bertujuan untuk memperkuat hubungan antara kota, desa, dan wilayah sekitarnya, sehingga menciptakan pusat pertumbuhan yang terintegrasi.
Di tengah pertumbuhan pesat Kota Bandung, diperlukan sistem perkotaan yang lebih canggih dan responsif. Dalam era digital ini, pengawasan kota oleh Pemerintah Kota Bandung harus diperbarui agar lebih efektif. Dengan adanya pengawasan real-time, pemerintah dapat mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah dengan lebih cepat dan efisien. Untuk itu, Pemerintah Kota Bandung mengembangkan konsep Bandung Smart City, yang bertujuan untuk mengawasi dan mengelola seluruh dinas pemerintah secara terintegrasi. Dalam kerangka ini, Smart City menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk menghubungkan dan mengontrol berbagai sumber daya kota, sehingga mampu meningkatkan pelayanan publik dan mendukung pembangunan yang berkelanjutan (Prof. Suhono Harso Supangkat dkk). Dilansir pada laman smartcityindonesia.org, kota dapat digolongkan cerdas jika mampu memahami kondisi internalnya secara menyeluruh, menganalisis permasalahan secara mendalam, dan melakukan tindakan yang tepat.Â
Penerapan Smart City di Kota Bandung
Definisi Smart City bervariasi menurut para ahli. Giffinger (2007) dan Lombardi (2012) menyatakan bahwa konsep ini mencakup enam komponen utama, yaitu Smart Economy, Smart People, Smart Governance, Smart Mobility, Smart Environment, dan Smart Living. Sementara itu, Cohen (2014) mengemukakan enam komponen serupa, namun dengan urutan yang sedikit berbeda. Perbedaan utama antara pendapat Cohen dan Giffinger-Lombardi terletak pada penekanan Cohen terhadap Smart Governance, yang lebih menyoroti peran dominan pemerintah dalam pengelolaan kota, bersama dengan sektor swasta dan masyarakat. Hal ini menegaskan bahwa, untuk mewujudkan pelayanan publik yang lebih efektif dan efisien, pemerintah harus memainkan peran utama dalam tata kelola kota cerdas. Dimensi ini berhubungan erat dengan pelayanan publik, birokrasi, dan kebijakan, yang menjadi inti dari tata kelola pemerintahan. Menurut Citiasia Center, Smart Governance juga dianggap sebagai pondasi utama dalam pengembangan konsep smart city, karena menentukan keberhasilan integrasi teknologi dan efisiensi sistem pemerintahan. Pelaksanaan Smart Government melibatkan tiga dimensi utama yang meliputi online services, infrastructure, dan open government.Â
Online Services
Kota Bandung saat ini berupaya mengintegrasikan layanan publik dari berbagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD) ke dalam satu platform untuk memudahkan masyarakat dalam mengakses layanan tanpa harus bergantung pada ratusan aplikasi. Berdasarkan data dari Diskominfo Kota Bandung (11 April 2023), terdapat 280 aplikasi yang telah dikembangkan, namun hanya sekitar 100 di antaranya yang dapat diakses publik. Hal ini menunjukkan bahwa banyak aplikasi tersebut belum optimal, dengan pengembangan yang lebih berfokus pada kuantitas daripada keberlanjutan dan fungsionalitasnya. Situs bandung.go.id merupakan situs yang menyelenggarakan layanan digital Kota Bandung. Situs ini secara bertahap diintegrasikan dengan OPD lain untuk memberikan layanan yang lebih terpusat dan efisien.Â
Dalam situs ini, tersedia fitur "Etalase Kota Bandung" yang mencakup sejumlah layanan, seperti kesehatan, pendidikan, transportasi, informasi publik, pariwisata, transparansi keuangan, hingga open data. Fitur ini dirancang untuk mempermudah akses masyarakat terhadap berbagai kebutuhan layanan pemerintah secara digital dan terintegrasi. Selain itu, pada 2022, Kota Bandung meluncurkan inovasi bernama Bandung Sadayana (Semua Digital Layanan Kota) yang tersedia di Play Store dan smartcity.bandung.go.id. Bandung Sadayana menyediakan lima fitur utama diantaranya Citizen Journalism, WhatsApp Bot, Smart Event, Smart Food, dan Smart Form, serta fitur pendamping yang terhubung dengan CCTV dan call center 112.
Infrastructure
Pemerintah Kota Bandung telah menyediakan infrastruktur WiFi "Bandung Juara" untuk mendukung akses internet masyarakat di ruang publik, seperti taman dan tempat ibadah. Hingga April 2023, terdapat 104 titik akses WiFi, namun sebarannya masih terpusat di wilayah perkotaan, sementara daerah seperti Bandung Timur belum sepenuhnya terjangkau. Menurut Diskominfo Kota Bandung, keterbatasan ini menjadi kendala dalam memenuhi kebutuhan internet masyarakat, terutama di wilayah yang jauh dari pusat kota. WiFi ini dirancang untuk mempermudah akses layanan pemerintah secara digital, namun keterbatasan cakupannya menunjukkan perlunya pengembangan lebih lanjut agar manfaatnya dapat dirasakan secara merata.