Halo, Min, tidak bosan-bosan gua mengucapkan kata “maaf” ke elu untuk kesekian kalinya. Iya, gua Fatin, kenalan lu di Pare, gua kirim surat ini lewat Jua karena gua bingung mau lewat mana lagi gua bisa sampein ini, WA lu gak aktif kan? Di tengah-tengah kesibukan gua sekarang, gua menyempatkan waktu untuk mencoba memperbaiki semuanya. Ya, semuanya, termasuk hubungan kita. Di saat gua mencoba memperbaiki semuanya, gua tidak menyangka ternyata hubungan kita juga merupakan hal yang harus gua ikut perbaiki juga. Tidak mengapa, gua percaya semua yang berantakan membuat gua untuk tumbuh dan terus belajar, membantu gua untuk memahami apa arti dewasa yang sesungguhnya. Berantakan juga yang membuat kata “rapih” ada, kalau tidak ada kata “berantakan” maka tidak ada kata “rapih”, vice versa.
Maaf akhir-akhir ini gua bikin lu kecewa, nangis, khawatir, dan berbagai emosi lainnya yang tidak bisa gua sebutkan satu persatu. Surat kali ini adalah surat pengakuan gua yang gua buat sejujur-jujurnya, gua berpikir untuk mengakui semuanya sebelum (lebih) terlambat dibanding gua menyimpannya sendiri dan menjadi bom waktu. Gua tidak yakin setelah lu membaca ini lu akan baik-baik saja, mungkin saja lu bisa kembali menangis dan kecewa terhadap gua dan lagi-lagi gua minta maaf. Jika dirasa tidak siap membaca bagian inti dari surat ini, bisa dicari waktu yang sekiranya sudah siap untuk membaca, gua akan menunggu sampai kapanpun bahkan sampai tahun depan. Bagian inti dari surat ini adalah paragraf yang berwana biru seperti ini.
Lu tahu kenapa gua lebih memilih untuk tidur dibandingkan berbicara dengan lu dan lu justru berbicara dengan Fina di saat itu? Ingat kejadian itu? Gua harap lu ingat. Itu semua karena gua menyadari bahwa apa yang keluar dari mulut gua acap kali membuat perasaan lawan bicara gua tersakiti. Di saat itu gua memilih untuk Fina saja yang berbicara dengan lu dibanding elu berbicara dengan gua yang pada akhirnya yang lu dapati hanyalah kepahaman yang disertai rasa sakit hati. Kalau lu ingat, di long text kemarin malam gua bilang, “…, sebenarnya banyak banget min yang pengen gua sampein cuma rata-rata itu sudah gua sampein di awal perkenalan kita (iykyk) …” Di sini gua cuma mau lu flashback ke belakang aja sih, gua yakin dan berharap setelah lu flashback lu bisa lebih oke. (Setelah surat ini dikirim, gua akan reply pesan-pesan lama yang semoga memperbaiki hubungan ini, aamiin. Jika pesan-pesan lama tersebut sudah sempat terhapus oleh dirimu, tidak mengapa, minta saja untuk mengirimkan ulang) Sepertinya susah ya kalau keadaan WA di nonaktifkan seperti ini, ya sudah baca pesan-pesan lamanya nanti saja apabila lu mau dan ada waktu.
Paragraf ini adalah paragraf jujur-jujuran, jujur saja selama gua ketemu lu di pertemuan kemarin, energi gua terkuras habis. Gua ingat di suatu malam kemarin lu bilang, “Kenapa ya waktu gua sama elu, energi gua kayak gak ada habis-habisnya?” Sejujurnya gua saat itu ingin bilang, “Untuk kali ini, energi gua terkuras habis sama elu, mungkin energi gua berpindah ke elu.” tapi gua masih menahan kalimat tersebut keluar dari mulut gua karena berpotensi menghancurkan suasana. Lalu, lu sadar gua capek sesudah arak-arakan, jujur saja arak-arakan itu tidak semelelahkan yang lukira. Saat itu, gua capek bukan karena arak-arakan tapi karena energi gua beneran habis ketika bersama lu kala itu. Jujur, pertemuan pertama (pertama kali lu main ke kosan gua) tidak terasa seperti ini. Pertemuan pertama tuh gua beneran enjoy, tidak ada alasan mengapa energi gua habis kala itu karena energi gua tidak habis. Tapi entah mengapa, pertemuan kemarin terasa sangat berbeda. Setelah gua menganalisis kenapa gua seperti itu, berdasarkan POV gua, itu karena gua sudah terlanjur capek duluan dengan karakter lu yang (MAAF) membuat gua kurang nyaman. Tidak perlu menanyakan karakter apakah itu, lu pasti sudah tahu sendiri dan apabila lu lupa, pertanyaan tersebut akan terjawab dari pesan-pesan lama yang akan gua reply.
Saat ini, gua berpikir (yang semoga pemikiran gua salah), semua karakter lu yang membuat gua kurang nyaman adalah karena lu tidak teratur minum obat. Ketika lu bilang, “for next maybe I never skipped my drugs” pikiran gua mengarah “ketika lu teratur minum obat, lu tidak akan seperti sekarang ini” yang makannya gua berharap sekali lu teratur minum obat dan tidak mau lu menyerah begitu saja karena ini semua demi kebaikan lu sendiri dan (mungkin) juga untuk orang-orang yang ada di sekitar lu baik secara jarak maupun hubungan.
Maaf, gua belum bisa menerima secara utuh karakter lu yang membuat gua kurang nyaman itu karena untuk kesekian kalinya gua mengatakan kalau gua lahir, hidup, dan dibesarkan di lingkungan yang berwatak keras (maksud keras di sini contohnya adalah gua tidak boleh berbicara secara mendayu-dayu, manja, dan semacamnya), tidak ada sebelumnya di lingkungan gua orang yang seperti lu. Sampai sejauh ini, gua masih kebingungan menghadapi orang seperti lu, begitupun juga dengan lu ke gua, kan? Teman-teman dekat gua yang lainnya pun karakternya 11 12 dengan gua. Bukan berarti gua tidak bisa menerima lu di lingkungan gua, hanya saja gua masih perlu banyak belajar untuk memahami orang seperti lu, sebelum-sebelumnya saja kita bisa kan berkomunikasi seperti pada umumnya? Mungkin ini semua hanya tentang batasan-batasan yang perlu kembali dibentuk layaknya kita di awal yang di mana batasan-batasan tersebut tidak membatasi hubungan kita.
Oh, iya, balik ke masalah sebelumnya. Gua pikir lu menanggapi omongan gua yang berkaitan dengan Dava hanya asal bunyi karena gua tahu omongan gua ketika emosinya sedang tidak stabil itu pasti ngelantur alias asal bunyi, ternyata lu menanggapinya lebih daripada itu. Makannya gua agak kaget pas lu serius menanggapi segala keasalbunyian gua tersebut tapi tidak mengapa kalau itu memang salah gua yang tidak memberikan lu note.
Gua berharap hubungan kita tidak berakhir dengan cara yang seperti ini dan lu mengingat apa yang gua bicarakan pada lu di telepon malam kemarin. FYI, komunikasi gua dengan teman-teman dekat yang lainnya itu bisa dua bulan sekali, mentok-mentok dua kali dalam sebulan dan itu pun jarang, tapi hal itu sama sekali tidak menghalangi gua untuk tetap berteman dekat dengan mereka karena kami sama-sama tahu kami punya kegiatan lain yang perlu diprioritaskan terlebih dahulu. Pesan yang tidak terbalas selama beberapa pekan pun sudah menjadi hal yang wajar di hubungan gua dan teman-teman dekat gua yang lainnya.
Min, sebelumnya di akhir surat ini ada kalimat ini “Yuk, kita samakan perspektif kita tentang hubungan ini. Sekali lagi, gua mau minta maaf ya, Min. Maukah lu memaafkan gua untuk kesekian kalinya?” tapi nampaknya kali ini lu benar-benar mau “lepasin” gua. Tidak mengapa jika menurut lu itu keputusan terbaik yang lu ambil, gua menghargai sekali keputusan lu itu, anggap saja surat ini adalah surat perpisahan tanpa balasan karena tidak dibalas pun tidak mengapa, gua tahu membalas surat ini perlu waktu dan tenaga jadi tidak mengapa jika tidak dibalas. Makasih juga ya min untuk semuanya. Maaf belum bisa menjadi teman yang baik, teman yang mengerti lu seutuhnya. Sehat-sehat ya min di sana, semoga keadaan lu membaik dengan cara-cara yang terbaik, semoga dikelilingi orang-orang yang lebih baik daripada gua, semoga perkuliahan lu lancar sampai lulus, semoga semua kebaikan lu dibalas berkali-kali lipat. Bertemu dengan lu adalah suatu kepingan hidup gua di tahun 2024 yang akan selalu gua ingat, Min. See u at the top, Jasmine Marsissi Andani 💌
“Not every apology deserves a “it’s okay.” Some deserve silence and boundaries. Choose what heals you, not what comforts them.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H