Di Era Digital yang semakin berkembang, literasi menjadi salah satu keterampilan yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Namun, dengan munculnya teknologi canggih seperti ChatGPT, literasi manusia menghadapi tantangan baru. Kecerdasan buatan ini mampu menghasilkan teks, menjawab pertanyaan, bahkan mengarang cerita dalam waktu singkat dan dengan tingkat akurasi yang tinggi. Tentu saja, ini menimbulkan pertanyaan besar: Bagaimana nasib literasi manusia di tengah kemajuan teknologi yang kian pesat?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu melihat literasi bukan hanya sebagai kemampuan untuk membaca dan menulis, tetapi juga sebagai kemampuan untuk berpikir kritis, menganalisis, dan memanfaatkan informasi secara efektif. ChatGPT adalah sebuah model kecerdasan buatan (AI) yang dikembangkan oleh OpenAI untuk menghasilkan teks berdasarkan input yang diberikan oleh pengguna. Nama "ChatGPT" berasal dari kata "chat" yang berarti percakapan, dan "GPT" yang merupakan singkatan dari "Generative Pretrained Transformer". GPT adalah jenis model bahasa yang telah dilatih dengan berbagai data teks yang sangat besar untuk memahami dan menghasilkan teks yang relevan (Sulianta,2024).
ChatGPT dirancang untuk berinteraksi secara alami dengan manusia, menjawab pertanyaan, memberikan penjelasan, membuat saran, dan bahkan mengarang teks dalam bentuk yang sesuai dengan konteks yang diminta. Teknologi ini memanfaatkan jaringan neural dalam memproses dan memahami bahasa, sehingga mampu menghasilkan respons yang tampak seperti percakapan manusia, baik itu dalam bentuk teks pendek atau panjang. Karena dilatih dengan data yang beragam, ChatGPT dapat digunakan dalam berbagai bidang, seperti penulisan konten, pendidikan, riset, pengembangan perangkat lunak, dan berbagai tugas lainnya (Manuaba,2024). Meskipun demikian, ChatGPT juga memiliki keterbatasan, seperti kemungkinan menghasilkan informasi yang tidak selalu akurat atau relevan, serta ketidakmampuan untuk memahami konteks atau emosi secara mendalam seperti manusia.
ChatGPT dan teknologi sejenisnya menawarkan berbagai kemudahan dalam hal akses informasi, sehingga manusia tidak perlu lagi mencari buku atau artikel untuk mendapatkan jawaban atas berbagai pertanyaan. Semua dapat diakses melalui interaksi dengan aplikasi berbasis AI ini. Namun, di sinilah tantangan terbesar bagi literasi manusia muncul. Seiring dengan kemudahan tersebut, kita perlu memastikan bahwa informasi yang kita terima tetap relevan, akurat, dan berguna.
Berani berliterasi di tengah terjangan ChatGPT berarti kita harus memiliki kesadaran dan kemampuan untuk memilah informasi. Teknologi seperti ChatGPT hanya sekadar alat, sementara keberhasilan dalam berliterasi bergantung pada bagaimana kita sebagai pengguna memanfaatkannya. Dalam hal ini, literasi digital menjadi sangat penting. Mengingat pengertian dari literasi sendiri yakni kemampuan untuk membaca, menulis, serta memahami dan menginterpretasi informasi dalam berbagai bentuk. Secara tradisional, literasi sering diartikan sebagai kemampuan dasar untuk membaca dan menulis teks. Namun, dalam konteks yang lebih luas, literasi mencakup kemampuan untuk menganalisis, mengkritisi, dan menggunakan informasi secara efektif di berbagai situasi (Naufal,2021). Bukan hanya mengetahui cara mengakses informasi, tetapi juga memahami konteks, validitas sumber, serta mengkritisi apa yang kita terima. ChatGPT ini hadir sebagai alat yang mampu mendukung proses belajar dan menulis, baik dalam bentuk penjelasan materi, penyusunan ide, maupun pembuatan karya tulis.
Teknologi ini memberikan peluang yang sangat besar bagi masyarakat untuk mengakses informasi secara cepat dan efisien. Tidak bisa dipungkiri, teknologi AI seperti ChatGPT dapat menjadi pendamping yang sangat bermanfaat dalam kegiatan literasi kita. Misalnya, dalam penulisan esai, penelitian, atau bahkan dalam proses belajar mengajar. Namun, tantangan terbesarnya adalah bagaimana kita bisa tetap menjaga esensi literasi yang lebih mendalam yaitu, kemampuan berpikir kritis dan kreatif di tengah kemudahan informasi instan yang diberikan oleh kecerdasan buatan. Sebagai contoh, seorang penulis atau akademisi yang menggunakan ChatGPT untuk menyusun argumen harus mampu memverifikasi fakta yang diberikan oleh AI, serta mengolahnya dengan cara yang benar dan sesuai dengan konteks yang lebih luas. Inilah yang membedakan antara orang yang sekadar mengandalkan teknologi tanpa pemahaman mendalam dan mereka yang mampu mengintegrasikan teknologi dengan kecerdasan manusia secara bijaksana. Namun di sisi lain, ada potensi ancaman berupa gangguan yang mungkin berlebihan yang bisa menghambat kreativitas dan berpikir kritis. Misalnya, seorang siswa tergoda untuk menggunakan ChatGPT sebagai jalan pintas untuk menyelesaikan tugas secara cepat tanpa memahami materi secara mendalam. Hal ini dapat menurunkan kualitas pembelajaran jika tidak disertai pengawasan dan penanaman materi secara kuat.
Penting untuk diingat bahwa teknologi tidak harus menggantikan literasi manusia, melainkan melengkapi dan memperkuatnya. Oleh karena itu, berani berliterasi di tengah terjangan ChatGPT berarti kita harus terus melatih kemampuan berpikir kritis, analitis, dan kreatif. Kita harus mampu memanfaatkan teknologi dengan bijak, tidak hanya sebagai alat yang memberikan jawaban instan, tetapi sebagai sarana untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan kreativitas kita. Di sinilah peran pendidikan dan pengembangan diri sebagai kunci. Melalui pembelajaran yang terstruktur dan pemahaman yang mendalam tentang literasi digital, kita dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan ini. Dengan demikian, di tengah terjangan ChatGPT dan teknologi lainnya, kita tetap bisa menjaga integritas literasi kita sebagai manusia yang berpikir dan bertindak dengan penuh kesadaran.
Akhirnya, berani berliterasi di tengah terjangan ChatGPT bukan hanya tentang bagaimana kita menggunakan teknologi, tetapi bagaimana kita membangun hubungan yang sehat antara kemampuan literasi manusia dan kecerdasan buatan. Keduanya dapat berjalan beriringan untuk menciptakan dunia yang lebih cerdas dan terinformasi. Sebagai pengguna teknologi, kita memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa literasi kita tetap hidup, berkembang, dan relevan dalam menghadapi perubahan zaman. Literasi yang kuat akan mejadi fondasi untuk menghadapi era yang baru ini, dimana manusia menjadi mesin yang saling berinteraksi. Dengan berani menulis, membaca, dan berpikir kritis, kita tidak hanya bertahan tetapi juga akan berkembang di tengah kemajuan teknologi. ChatGPT adalah alat, bukan pengganti. Manusia akan tetap menjadi pusat segala proses kreatif, kritis dan intelektual. Mari kita terus berliterasi, kepala tetap tegak dan pena tetap ditangan untuk menghadapi masa depan yang penuh tantangan dengan keberanian.
Daftar Pustaka
Manuaba, I. B. K., Erwanto, D., Judijanto, L., Harto, B., Sa'dianoor, H., Supartha, I. K. D. G., & Kelvin, K. (2024). TEKNOLOGI ChatGPT: Pengetahuan Dasar dan Pemanfaatan kombinasi keahlian dengan ChatGPT di berbagai Bidang. PT. Sonpedia Publishing Indonesia. TEKNOLOGI ChatGPT : Pengetahuan Dasar dan Pemanfaatan kombinasi keahlian ... - Ida Bagus Kerthyayana Manuaba, Danang Erwanto, Loso Judijanto, Budi Harto, H. Sa'dianoor, I Kadek Dwi Gandika Supartha, Farid Wahyudi, Mahdianta Pandia, Kelvin Kelvin - Google Buku
Naufal, H. A. (2021). Literasi digital. Perspektif, 1(2), 195-202. 9+HAICKAL+ATTALLAH+NAUFAL+-+LITERASI+DIGITAL+195-202.pdf