Kekhalifahan Turki Utsmani menandai babak akhir dalam sejarah kekhilafahan Islam, sekaligus menjadi titik puncak kejayaan Islam. Pada masa ini, kekuatan Islam mencapai puncaknya dan menunjukkan kemajuan yang luar biasa. Selama berabad-abad, pengaruh kekhilafahan ini begitu terasa di wilayah Eropa Timur, mengukir prestasi yang mengesankan. Turki Utsmani dibagi menjadi dua periode penting, yakni pada masa kesultanan dan masa khilafah.
Kesultanan Utsmani dimulai dimulai pada tahun 1299 M, ketika Utsman bin Ertugrul mendirikan kekuasaan awalnya. Meskipun pada awalnya kekuasaan Utsmani terbatas, ambisi dan strategi menyebabkan wilayah kekuasaannya meluas secara pesat ke Eropa Timur, Asia Kecil, Asia Barat dan Afrika Utara. Setelah Utsman wafat, para sultan penerus melanjutkan upaya untuk memperluas wilayah kekuasaan, menaklukkan kota-kota yang belum pernah dikuasai dengan semangat dan tujuan yang sama.
Selama kepemimpinan Utsman dan penerusnya, kekuasaan Utsmani berkembang pesat. Di antara wilayah-wilayah yang ditaklukkan termasuk Ankara, Gallipoli, bagian utara Yunani, Tunisia, Irak, Yaman, Hongaria, Yugoslavia, Hijaz, serta banyak wilayah lainnya. Salah satu pencapaian terbesar adalah penaklukan Konstantinopel, yang sangat diidamkan oleh para sultan dan disebut dalam hadits Nabi Muhammad . Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Bukhori dan Imam Thobroni, berbunyi:
Hadits ini mengisyaratkan bahwa Konstantinopel akan ditaklukkan oleh pemimpin terbaik dan pasukannya yang terhebat. Penaklukkan Konstantinopel akhirnya terjadi pada tahun 1453 M di bawah kepemimpinan Sultan Muhammad Al-Fatih, putra Sultan Murad II. Ini merupakan pencapaian terpenting dalam sejarah Islam, menandai akhir dari kekaisaran Bizantium dan pembukaan era baru bagi kekhalifahan Utsmani.
Keemasan Khilafah Utsmaniyyah tidak hanya tercermin dari wilayah kekuasaannya saja, tetapi juga dari berbagai pencapaian laindari bidang militer, pemerintahan, arsitektur dan keagamaan. Dalam bidang militer, strategi dan inovasi yang diterapkan memungkinkan ekspansi wilayah yang luas dan pertahanan yang kuat. Sistem pemerintahan Utsmani, yang mengintegrasikan prinsip-prinsip Islam dengan administrasi yang efisien, menyediakan stabilitas dan keteraturan. Dalam bidang arsitektur, kekhalifahan ini dikenal dengan masjid-masjid yang megah dengan hiasan kaligrafi yang khas dan bangunan-bangunan penting lainnya seperti sekolah, rumah sakit, gedung, vila, jembatan, saluran air, tempat pemandian, makam dan istana. Istana Topkapi dan Harem di Istanbul adalah contoh arsitektur yang menggambarkan kejayaan Utsmani, menunjukkan perpaduan antara fungsi dan estetika dalam perancangan bangunan.
Dalam bidang keagamaan, khilafah Utsmaniyyah juga mengalami perkembangan yang signifikan. Fatwa ulama menjadi acuan penting bagi kerajaan dan masyarakat. Adanya mufti sebagai pejabat urusan agama tertinggi yang memberikan fatwa resmi terhadap masalah-masalah keagamaan, menunjukkan struktur keagamaan yang terorganisir. Dalam bidang manajemen politik juga berkembang pesat, dengan penggunaan undang-undang Al-Qanun yang mengatur pemerintahan dan rekrutmen abdi negara.
Sebagaimana halnya dalam kerajaan pada umumnya, sultan-sultan Turki Utsmani berganti-ganti seiring berjalannya waktu. Setiap pergantian pemimpin membawa serta berbagai perubahan dalam kebijakan dan arah pemerintahan. Dengan pergantian ini, terdapat masa-masa di mana kerajaan mengalami kemajuan yang pesat dan masa-masa di mana kerajaan menghadapi kemunduran. Transisi kekuasaan ini tidak hanya melibatkan perubahan kepemimpinan, tetapi juga membawa dampak yang kompleks terhadap stabilitas politik, ekonomi dan sosial kerajaan. Setiap sultan yang naik tahta menghadapi tantangan yang berbeda-beda, tergantung situasi internal dan eksternal yang ada pada masanya. Kebijakan yang diterapkan oleh setiap sultan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keberlanjutan dan kejayaan kerajaan.
Seiring dengan berjalannya waktu, ancaman terhadap kekhilafahan semakin meningkat. Tokoh-tokoh Barat berupaya untuk meruntuhkan kekhilafahan, mereka mencari cara untuk menghilangkan pengaruh agama dari kehidupan masyarakat. Dasar pemikiran orang-orang Barat yang menginginkan perubahan tersebut adalah karena mereka merasa dapat meraih kembali masa kejayaan mereka setelah meninggalkan agama. Mereka menganggap bahwa agama membelenggu kebebasan mereka, meghalangi mereka untuk melakukan apa yang mereka inginkan. Sejarah mencatat bahwa orang-orang Barat pernah hidup di masa di mana gereja memiliki kekuasaan yang sangat besar. Pada masa itu, gereja merupakan institusi paling kuat dan dominan. Siapapun yang mengutarakan pandangan atau pemikiran yang bertentangan dengan ajaran gereja akan menghadapi hukuman berat, yang paling ekstrem adalah hukuman mati. Pengalaman pahit ini membuat mereka kehilangan kepercayaan terhadap agama. Periode ini dikenal sebagai "The Dark Age" atau masa kegelapan, di mana kebebasan berpikir dan berpendapat sangat terbatasi. Pada puncaknya, para cendekiawan mulai memprovokasi masyarakat dengan mempertanyakan otoritas raja yang mengklaim dirinya sebagai wakil Tuhan. Mereka bertanya "Mengapa kalian mau diatur oleh raja yang sama-sama manusia, hanya karena dia menganggap dirinya sebagai wakil Tuhan?" Pertanyaan-pertanyaan kritis inilah yang kemudian memicu munculnya era Renaissance.
Pada masa Renaissance, muncul gagasan Sekularisme yang bertujuan untuk memisahkan politik dari agama. Sistem politik yang awalnya sebuah kerajaan diubah menjadi demokrasi, dimana kepemimpinan dibagi dalam trias politika untuk memastikan kekuasaan tidak hanya berada di tangan seorang raja. Selain itu, dalam bidang ekonomi, kapitalisme mulai diterapkan. Perubahan ideologi ini turut memicu lahirnya imperialisme atau penjajahan. Dalam konteks imperialisme terdapat tiga unsur utama yang menjadi dasar, yaitu emas (gold), kejayaan (glory) dan injil (gospel). Ketiga unsur ini saling berkaitan erat, saat bangsa-bangsa Barat melakukan penjajahan mereka hanya menguasai wilayah dan sumber daya ekonomi, tetapi juga berusaha menyebarluaskan agama mereka. Dengan kata lain, penjajahan tersebut mencakup penguasaan tanah, dominasi ekonomi dan penyebaran agama.
Ketika bangsa-banga Barat mengalami masa pembaruan, kekhilafahan Turki Utsmani mulai mengalami kemunduran. Pada periode ini berbagai masalah muncul, termasuk penurunan penggunaan bahasa Arab. Padahal bahasa ini adlah pusat ilmu dalam Islam karena seluruh ajaran Islam disampaikan dalam bahasa Arab. Ketika mereka mulai kurang memperhatikan ilmu-ilmu Islam, mereka diperkenalkan dengan teknologi-teknologi Barat yang menimbulkan kebingungan mengenai penggunaannya. Akibatnya, timbul perselisihan di kalangan umat Muslim dan muncul pemahaman yang keliru, seperti penutupan pintu ijtihad yang mengakibatkan tidak adanya proses ijtihad di antara mereka. Kondisi ini yang menyebabkan Islam menjadi terkesan stagnan.
 Di sisi lain, ketika bangsa-bangsa Barat merasa bahwa perang fisik tidak lagi efektif, mereka mulai meluncurkan ghazwul fikr atau perang pemikiran. Dengan demikian terdapat dua jenis serangan, yakni perang pemikiran dan perang imperialisme. Perang pemikiran melibatkan peyebaran konsep-konsep filsafat yang mengganggu ajaran Islam yang kemudian melahirkan pluralisme, sekularisme dan berbagai pemikiran lainnya.