Di samping peran untuk menyatukan Kawasan, ASEAN juga berperan aktif dalam menciptakan perdamaian di Kawasan Asia. Dalam kasus di ASEAN, negara-negara yang berbatasan satu sama lain seperti Thailand yang berbatasan dengan Malaysia, Myanmar, Laos, dan Kamboja memiliki peluang untuk terciptanya masalah dan ketegangan hubungan antar negara yang dapat berujung konflik dan perang. Tidak hanya berakibat pada aspek politik-keamanan, tetapi juga dapat berdampak pada aspek ekonomi dan sosial budaya. Dalam menyelesaikan sengketa, ASEAN mengatur penyelesaian sengketa antaranggota yang diatur pada Piagam ASEAN. Dalam sengketa yang terjadi, negara yang bersengketa dapat meminta Ketua ASEAN atau Sekretaris Jenderal ASEAN untuk menjadi pihak ketiga. Namun, jika belum selesai, sengketa dapat dibawa ke KTT ASEAN.
Thailand dan Kamboja merupakan negara anggota ASEAN yang berseberangan dengan garis perbatasan darat sepanjang 803 km. Pasca perang Franco-Siam pada tahun 1893 lalu, menyebabkan wilayah Kamboja meluas hingga sisi kiri Sungai Mekong. Komisi Bersama dibentuk guna memetakan dan mendemokrasi perbatasan yang terdiri atas perwakilan kedua negara. Masalah mulai muncul Ketika pada tahun 1940-an silam yang telah berubah menjadi Thailand mengklaim bahwa terdapat kesalahan dalam pembuatan peta tersebut, menyebutkan bahwa Candi Preah Vihear seharusnya merupakan bagian dari wilayah Thailand. Candi Preah Vihear kembali diokupasi oleh Thailand pada tahun 1954 dengan memanfaatkan Jepang pada Perang Dunia II lalu, kemudian menempatkan tentara di sekitar area candi dan memicu ketegangan diplomatic dan militer diantara kedua negara. Untuk menghentikan okupasi tersebut, Kamboja mendaftarkan kasus ini ke Mahkamah Internasional pada 6 Oktober 1959. Pasca keputusan Mahkamah Internasional 1962, ketegangan diplomatik dan militer setidaknya berkurang. Selama beberapa dekade setelahnya, isu mengenai candi Preah Vihear ini tidak terlalu diungkit baik oleh Thailand maupun Kamboja.
Setelah tidak ada yang mengungkit terkait isu perbatasan, ketegangan isu perbatasan di dekat Candi Preah Vihear mulai muncul kembali pada tahun 2008 hingga 2011 yang kemudian melibatkan militer kedua negara. Terdapat dampak korban jiwa, dan memicu demonstrasi anti-Kamboja di Thailand, dan begitu pula di Kamboja, dalam hal sosial budaya, hal tersebut menyebabkan ketidak harmonisan hubungan antar masyarakat kedua negara secara umum, yang sangat bertolak belakang dengan cita-cita ASEAN. Dalam rangka menyelesaikan sengketa tersebut, kedua negara telah mengupayakan perdamaian melalui jalur bilateral yang melibatkan pemerintah sipil maupun militer. Selain pendekatan bilateral, penyelesaian sengketa Thailand dan Kamboja juga dilakukan melalui pendekatan regional dan multilateral. ASEAN sebagai organisasi regional yang menaungi negara Thailand dan Kamboja, telah berupaya mempertemukan kedua negara dalam forum ASEAN Foreign Ministers Meeting dan forum Joint Border Commission yang dilaksanakan pada April 2011 di Bogor. Namun, pada saat itu solusi yang ditawarkan belum dapat disepakati oleh kedua belah pihak. Upaya ASEAN kemudian mendapatkan titik terang dengan putusan Mahkamah Internasional pada Juli 2011 yaitu, memutuskan agar Thailand dan Kamboja menarik seluruh pasukannya dan mengizinkan tim pemantau ASEAN untuk memasuki zona demiliterisasi.
Dalam penyelesaian konflik Thailand dan Kamboja ada tiga hal yang menjadi hambatan besar dalam penyelesaiannya. Yang pertama, perselisihan dalam pendekatan penyelesaian konflik. Dalam usaha negosiasi perbedaan pendekatan yang diajukan menjadi hambatan negara, dalam hal ini, Thailand merasa lebih kuat dibandingkan Kamboja. Di Lain sisi, Kamboja lebih percaya untuk melibatkan pihak ketiga seperti PBB maupun ASEAN. Perbedaan pendekatan tersebutlah yang menyebabkan penyelesaian konflik sulit menemui titik temu. Pada akhirnya Mahkamah Internasional mengharuskan untuk membuat keputusan hal tersebut memperlihatkan kelemahan ASEAN bahwa, kurangnya kekuatan memaksa pada negara-negara anggotanya. Namun, dilain sisi ASEAN juga menunjukan kesuksesan dengan kepercayaan yang diberikan lembaga internasional untuk menangani masalah yang terjadi di Asia Tenggara. Kedua, Konflik Internal Thailand sebagai penghambat perundingan. Terakhir, kelemahan dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa ASEAN. Pada penyelesaian sengketa Thailand dan Kamboja, terlihat ASEAN memiliki kelemahan untuk membuat negara-negara anggotanya mempercayai dan mematuhi usulan penyelesaian sengketa yang ditawarkan. Untuk menutupinya, ASEAN mendapat dukungan melalui pihak luar, yaitu dukungan Dewan Keamanan PBB dan bantuan Mahkamah Internasional. Dukungan pihak luar yang lebih kuat tersebut dapat dialih fungsikan untuk mengejar kepentingan mereka di Asia Tenggara.
Sengketa perbatasan wilayah Thailand dan Kamboja terhadap area di sekitar Candi Preah Vihear tahun 2008-2011 telah menjadi masalah yang serius bagi stabilitas Kawasan Asia Tenggara maupun kredibilitas ASEAN sebagai organisasi regional. Selain itu, dengan ikut andilnya Dewan Keamanan PBB dan Mahkamah Internasional menunjukan bahwa kepercayaan ASEAN masih dianggap lemah dan belum mampu untuk menjadi lembaga penyelesaian sengketa dan konflik. Namun, kepercayaan Dewan Keamanan PBB dan Mahkamah Internasional terhadap ASEAN menunjukan eksistensi ASEAN diakui dalam kancah internasional. Tidak dapat dipungkiri pula, bahwa peran ASEAN juga tidak terlepas dari dukungan kekuatan luar yang besar seperti PBB. Pengakuan dan penghormatan eksistensi ASEAN dari negara anggota dan non-anggota jelas diperlukan. Eksistensi tersebut akan memiliki power besar yang menguatkan lembaga dari sisi politik keamanan, ekonomi, dan sosial budaya. Oleh karena itu ASEAN perlu menjaga roadmap guna tercapainya hal-hal tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H