Perkembangan era globalisasi, sangat membawa pengaruh terhadap beberapa segi kehidupan di Indonesia, khususnya dalam bidang ekonomi, kondisi seperti ini semakin mendongkrak daya pikir manusia untuk melakukan usaha atau pengembangan di bidang usaha. Bermacam-macam cara di tempuh oleh pelaku usaha agar usahanya tidak tertinggal jauh dengan pelaku usaha lainnya, bahkan yang sering terjadi adalah melakukan utang untuk mengembangkan usahanya.Â
Utang dalam lingkup usaha bukan berarti tanda perusahaannya memiliki neraca yag buruk namun utang merupakan salah satu cara untuk memperoleh tambahan modal dalam mengembangkan usahanya, tetapi hal tersebut berlaku jika jatuh tempo penagihan perusahaan tersebut mampu mengembalikan utangnya. Apabila perusahaan tidak mampu ataupun tidak mau membayar utangnya kepada piutang utang, maka telah di siapkan suatu pintu darurat untuk menyelesaikan persoalan tersebut, yaitu dikenal dengan lembaga kepailitan. Persoalannya, bagaimana dengan kepailitan harta warisan atau peninggalan?Â
Di dalam pasal 207 UU No. 37 tahun 2004 di tentukan “harta seseorang yang telah meninggal, harus dinyatakan pailit, apabila serorang berpiutang atau lebih mengajukan permohonan untuk itu dan secara singkat menunjukkan bahwa si meninggal berada dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya, ataupun bahwa saat meninggalnya orang tadi, harta peninggalannya tidak cukup untuk membayar utang-utangnya.Â
Dengan memahami pasal 207 UU No. 37 tahun 2004 tersebut, tersirat adanya eksepsi (pengecualian) dalam mengajukan permohonan kepailitan bagi harta warisan, yaitu kepailitan terhadap harta warisan dapat diajukan walaupun oleh seorang kreditur. Namun permohonan kepailitan tersebut harus diajukan sebelum lampaunya waktu 3 bulan sesudah diterimanya harta warisan itu oleh ahli warisnya, dan sebelum melampaui waktu 6 bulan sesudah meninggalnya si debitur (pailit).Â
Alasan diberikannya waktu 3 bulan untuk mengajukan permohonan kepailitan terhadap harta warisan adalah karena dalam tenggang waktu itu ahli waris (yang menerima warisan) dapat melakukan perhitungan dan penyelesaian harta warisan tersebut, sehingga dapat diketahui bahwa aktiva si menginggal cukup untuk membayar hutang-hutangnya.Â
Adanya permohonan kepailitan harta warisan itu, maka pada waktu pemeriksaan di pengadilan, para ahli waris harus dipanggil melalui jurusita untuk mendengar keterangannya mengenai adanya permohoan kepailitan itu. Apabila hakim berpendapat bahwa syarta dan lasan untuk dinyatakna pailit terhadap harta warisan telah tercukupi, maka hakim akan menjatuhkan putusan kepailitan terhadap harta warisan itu. Adanya putusan kepailitan itu akan berakibat hukum bagi harta si meninggal dan ahli warisnya, yaitu harta warisan itu dengan sendirinya (demi hukum) akan terpisah dari kekayaan ahli warisnya. Pemisahan tersebut untuk menghindari terjadinya percampuran harta warisan dengan harta pribadi ahli waris.Â
Apabila kepailitan itu sudah berjalan dengan baik sampai pada tingkat terakhir (insolvensi), dan semua kreditur telah mendapat pembayaran piutangnya secara penuh, maka bekas si pailit maupun ahli warisnya dapat mengajukan permohonan rehabilitasi (pemulihan kehormatan yang ternda akibat keadaan pailit). Diadakannya lembaga rehabilitasi adalah untuk memulihkan nama baik si bekas pailit seperti keadaan sediakala (sebelum dijatuhi keputusan kepailitan), sehingga ia akan mendapat kepercayaan kembali dari mitra-mitra dagangnya.Â
Suatu rehabilitasi harus diajukan kepada pengadilan negeri yang dulu memeriksa dan memutus kepailitan, melampirkan surat-surat bukti yang menyatakan bahwa kreditur mengakui bahwa telah dibayar lunas piutangnya. Setelah pengadilan menerima permohonan itu, dapat mengadakan pengumuman terhadap permohonan itu pada majalah resmi atau berita negara.
Terhadap pengumuman itu, kreditur yang diakui dapat mengadakan perlawanan dan tenggang waktu 2 bulan sejak pengumuman itu dilaksanakan.Â
Setelah tenggang waktu 2 bulan, baik ada maupun tidak adanya perlawanan, pengadilan harus memberikan keputusan diterima atau ditolaknya permohonan rehabilitasi itu. Keputusan itu harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum serta didaftarkan pada register umum di kepaniteraan pengadilan. Putusan hakim itu adalah putusan terakhir yang tidak dapat dimintakan banding ataupun kasasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI