Mental health adalah sebuah sebutan untuk kondisi kesehatan mentalitas individu, tidak seperti kesehatan fisik yang dapat terlihat, kesehatan mental bukanlah sesuatu yang dapat dinilai orang lain hanya individu itu sendiri yang dapat merasakannya. Pada awalnya, kesehatan mental hanya terbatas pada seseorang yang memiliki gangguan kejiwaan dan tidak diperuntukkan bagi setiap individu pada umumnya. Namun, pandangan tersebut bergeser sehingga kesehatan mental tidak hanya terbatas pada individu yang memiliki gangguan kejiwaan saja, tetapi juga diperuntukkan bagi individu yang mentalnya sehat yakni bagaimana individu tersebut dapat mengeksplor dirinya sendiri kaitannya dengan bagaimana seseorang mampu berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya (Fakhriani, 2019).
  Penggunaan kata mental health sudah cukup umum dijumpai di kalangan anak muda. Banyak sekali isu-isu yang menimpa anak muda, penyebabnya biasanya karena mental health yang kurang stabil. Kasus bunuh diri adalah yang sering kita dengarkan dalam berita akhir-akhir ini dan korbannya sendiri masih seorang mahasiswa/mahasiswi, dari permasalahan ini kita ingin menjabarkan betapa pentingnya mental health kepada para anak muda, khususnya mahasiswa baru di perguruan tinggi, karena kesehatan mental saat ini sangat disepelekan dan dianggap remeh sehingga hal tersebut mampu mempengaruhi pola pikir individu dan merasa bahwa dirinya tidak berguna dan tidak dihargai di suatu lingkup masyarakat atau lingkungan sosial.
  Kesehatan mental tentunya sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan seseorang itu kedepannya, sebagai contoh mahasiswa baru yang mengalami tekanan sosial karena kondisi di sekitarnya sangat jelas berbeda dari lingkungan sebelum individu tersebut menempuh pendidikan lanjut di perguruan tinggi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa banyak mahasiswa baru yang mengalami gangguan mental secara emosional. Prevalensi gangguan mental emosional yang terjadi pada mahasiswa baru tergolong tinggi, yaitu sebesar 12% hingga 50% (Blanco et al dalam Prasetio & Rahman, 2019). Hal-hal yang umum biasa terjadi yaitu proses adaptasi yang cukup menyiksa batin seperti perbedaan status sosial yang terjadi di perguruan tinggi hingga kegiatan pengenalan lingkungan kampus yang cukup menguras tenaga hingga mental mahasiswa baru tersebut. Kondisi tersebut perlu adanya perhatian khusus dari pihak kampus maupun lingkungan terdekat mahasiswa tersebut, karena cukup jelas bahwa hal tersebut jika dibiarkan tanpa penanganan lebih lanjut dan perhatian yang baik akan menimbulkan akibat yang serius di kemudian hari. Maka perlu adanya kesadaran dalam peran saling menjaga kesehatan mental antar sesama di kalangan gen z.
  Cukup umum kita temui alasan mahasiswa baru di perguruan tinggi mudah rapuh mentalitasnya karena adanya sebuah tekanan yang cukup umum ditemui atau dirasakan oleh mahasiswa baru. Seperti halnya tekanan pendidikan, lingkungan, hingga overthinking tentang masa depan. Fase ini bisa disebut sebagai fase quarter life crisis (Black dalam Afnan et al., 2020) memaparkan bahwa Quarter life crisis merupakan suatu kondisi dimana perasaan yang muncul pada saat individu mencapai usia pertengahan 20-an tahun, dimana terdapat perasaan cemas terhadap kelanjutan hidup di masa depan, termasuk di dalamnya urusan karier, relasi maupun hubungan hingga kehidupan sosial.
  Quarter life crisis dapat diartikan sebagai suatu reaksi atau tanggapan terhadap ketidakstabilan yang memuncak, perubahan yang konstan, terlalu banyak pilihan-pilihan dalam hidup serta perasaan panik dan tidak berdaya yang biasanya muncul pada seseorang dalam rentang usia 18 hingga 29 tahun. Awal mula munculnya fase ini ditandai ketika individu tengah menyelesaikan perkuliahan, dengan karakteristik emosi seperti frustasi, panik, khawatir, dan tidak tahu arah. Krisis ini juga bisa mengarah ke depresi dan gangguan psikis lainnya. Di fase ini mahasiswa mulai mencari jati dirinya dan berusaha supaya dirinya tidak tertinggal dari teman-temannya, pada proses inilah mahasiswa perlu adanya kesadaran dalam menjaga mental nya dengan baik supaya dirinya mampu untuk menjalani hidupnya hingga mengejar masa depan dengan kondisi mental yang seimbang.
  Selain dari kepanikan dan keresahan dalam memikirkan perihal masa depan, ternyata terdapat hal lain yang mampu mempengaruhi kondisi mental seorang mahasiswa baru yaitu seperti ospek atau orientasi studi dan pengenalan kampus, dalam banyak kasus ditemukan bahwa ospek kurang berfungsi dalam penerapannya untuk benar-benar memperkenalkan kehidupan baru di kampus. Banyak kita temukan kasus seperti adanya perpeloncoan, kekerasan, hingga pelecehan di masa ospek ini hal tersebut tentu menjadi ketakutan tersendiri bagi mahasiswa dan memandang bahwa ospek kurang berguna untuk masa pengenalan kehidupan kampus. Pelaksanaan ospek yang bertentangan dengan aturan merupakan suatu pelanggaran yang dapat mengakibatkan traumatis bagi seorang mahasiswa, hal ini tidak dibenarkan dan seharusnya tidak dibiarkan terjadi mengingat bahwa mahasiswa baru merupakan individu yang masih segar istilahnya dan perlu adanya perlakuan baik untuk menunjang kehidupan mereka kedepannya selama menjalani masa studi di kehidupan kampus.
  Dalam perguruan tinggi banyak dijumpai mahasiswa yang berasal dari luar daerah atau bukan berasal dari daerah tempat mereka menempuh pendidikan tinggi mereka. Sehingga mereka diharuskan untuk merantau ke daerah universitas mereka, supaya mereka dapat berfokus pada pendidikan dan dapat peruntungan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik di kota setelah lulus. Tetapi karena hal ini banyak dari mahasiswa baru mengalami yang namanya culture shock. Nyatanya fenomena culture shock ini tidak hanya dirasakan orang mahasiswa perantau tetapi juga mahasiswa yang merupakan warga asli kota asal perguruan tinggi tersebut. Pascarella dan Terenzini (1991 dalam Sharma, 2012) mendeskripsikan tentang culture shock yaitu masa transisi yang melibatkan pembelajaran kembali dalam menghadapi hal baru. Seperti, pengajar dan teman baru dengan nilai dan berbagai keyakinan, kebebasan dan peluang baru, dan tuntutan akademik, personal, dan sosial yang baru (Irfan & Suprapti, 2014). Kita dituntut untuk belajar dengan intensitas yang cepat tetapi harus mendalam, juga perasaan asing karena berada di tempat yang baru dan juga adanya sikap kompetitif ataupun individualis yang diharuskan untuk bertanggung jawab sendiri akan kehidupan perkuliahan, sangat berbeda dengan kebijakan pembelajaran yang dilakukan saat masih berada dalam bangku sekolah (U Estiane - Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, 2015). Masa transisi ini memberikan banyak tekanan kepada mahasiswa baru tidak hanya pada masa depan, tetapi juga tekanan mereka dapat berdamai dengan lingkungan baru mereka. Mereka harus dapat beradaptasi dengan lingkungan baru. Sangat baik jika mahasiswa baru dapat dengan cepat beradaptasi dengan lingkungan kampus mereka. Sebaliknya jika mereka susah untuk beradaptasi atau bahkan belum dapat beradaptasi sama sekali akan berakibat dengan mahasiswa yang cenderung mengalami penurunan nilai akademis. Biasanya juga sering terdengar akibatnya banyak mahasiswa yang dilaporkan terkena gangguan mental. Gangguan mental emosional pada mahasiswa juga berkaitan dengan tingkat putus sekolah (Prasetio & Rahman, 2019).
  Dari beberapa faktor atau aspek di atas tentunya mahasiswa perlu memiliki rasa mawas diri dalam menjalani kehidupan dirinya selanjutnya di dunia perkuliahan, perlu adanya interaksi dan komunikasi dalam pergaulan dirinya dan lingkungannya supaya individu tersebut bisa tetap menjaga kewarasan mentalnya di tengah tantangan baru yang dihadapi dalam lingkup sosial yang baru. Kita dapat menyimpulkan dari pembahasan permasalahan di atas dipengaruhi beberapa faktor yang mempengaruhi kesehatan mental. Quarter life Crisis permasalahan tentang kesadaran akan masa depan yang tidak pasti. Faktor ini dapat memicu mahasiswa untuk memikirkannya secara berlebihan dan jika tidak segera ditangani akan menjadi sebuah masalah serius terhadap kesehatan mental. Karena pemikiran tentang masa depan yang tidak pasti membuat mahasiswa menyadari akan adanya tekanan untuk melakukan yang terbaik, bahkan hingga mengorbankan kesehatan fisik ataupun mental.
  Faktor yang kedua yaitu culture shock, mengambil peran cukup penting dalam memengaruhi faktor diatas. Mahasiswa baru berada pada lingkungan baru dan dituntut untuk dapat beradaptasi secepatnya dengan lingkungan baru di dunia perkuliahan. Mereka menyadari tentang perubahan hidup untuk terus maju. Terkadang mahasiswa baru belum siap atau belum pernah kepikiran tentang rencana kedepannya, sehingga faktor ini memiliki hubungan yang cukup kuat dengan faktor sebelumnya. Akhir kata dari kami, sekalipun dengan perubahan yang ada menjadi mahasiswa atau bahkan tidak ada persiapan apapun untuk kedepannya, diharapkan untuk para mahasiswa tidak menyerah. Berusaha untuk menemukan 'cara efektif' untuk menangani faktor-faktor permasalahan yang merujuk ke permasalahan mental. Mencoba untuk terbuka dalam berkomunikasi kepada orang lain, tanpa melupakan kebahagiaan sendiri yang tidak merugikan orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H