Mohon tunggu...
Fatimah Wigati
Fatimah Wigati Mohon Tunggu... -

lahir di cilegon

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi, Mega, dan Poros Tengah

11 Agustus 2012   18:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:55 756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada beberapa kesamaan antara Jokowi dan Mega dalam percaturan politik nasional, yakni fenomena Jokowi dalam Pilkada DKI dan fenomena Mega dalam pemilu pertama di era reformasi. Hal ini menjadi menarik karena “seharusnya” Jokowi bisa belajar dari Mega untuk bisa memenangi kompetisi.

Mega adalah ikon dari kekuatan rakyat. Ia merepresentasikan wong cilik yang terzalimi di rezim orba. Simpati publik terhadap Mega pun tak terbendung dan akhirnya ia memenangi pemilu dengan peroleh suara cukup meyakinkan, yakni 33%. Pertarungan berikutnya untuk merebut kursi presiden tinggal selangkah lagi, yakni cukup dengan “merebut” beberapa persen suara dari partai lain di DPR, karena lembaga inilah yang menentukan siapa yang berhak menjadi presiden –melalui pemungutan suara di DPR. Mega pun percaya diri, karena PKB sudah merapat ke kubunya.

Disinilah leadership dan kemampuan loby Mega diuji untuk “merayu” atau meyakinkan partai lain bergabung dengannya. Tetapi, justru disinilah titik kelemahan Mega dimana calon mitra tidak mendapat penjelasan konkrit, terutama dalam hal visi pemerintahannya –termasuk masalah power sharing. Maka, memilih Mega sama dengan membeli kucing dalam karung. Hal ini diperburuk oleh sikap Mega yang over confidence, kurang membuka akses komunikasi dengan calon mitra, serta merasa bahwa partai lainlah yang musti merapat kepadanya.

Disadari atau tidak, Mega akhirnya menjadi “musuh bersama” yang kemudian melahirkan kekuatan baru bernama Poros Tengah, kekuatan yang pada akhirnya menggulung Mega dari peluang menjadi RI-1. Bahkan, PKB yang sudah ada dalam pelukannya pun lepas dan berbalik menjadi rival.

Lalu bagaimana dengan Jokowi. Mirip dengan Mega, hanya beda medan kompetisinya saja, Jokowi memenangi Pilkada putaran pertama, dan akan menduduki DKI-1 jika berhasil memenangi putaran kedua. Sayangnya, Jokowi tidak belajar dari Mega yang tidak berhasil meyakinkan partai lain untuk mendukungnya. Jokowi justru mengalami “nasib” yang sama dengan Mega. PKS yang sejak semula coba didekati oleh Jokowi, justru malah disakiti oleh timses Jokowi dengan menuduh PKS melakukan  politik transaksional dengan meminta jabatan 3 kepala dinas jika Jokowi jadi DKI-1.

Nasib Jokowi pun kini mirip dengan Mega, yakni menjadi “musuh” bersama dari partai-partai lain, baik yang besar maupun yang kecil, karena partai-partai tersebut memilih untuk bergabung dengan Fauzi-Nachrowi ketimbang mendukung Jokowi-Ahok. Akankah fenomena Poros Tengah yang menggulung Mega akan terulang kembali pada diri Jokowi?  Kita tunggu pada tanggal 20 Septermber nanti.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun