Keraton Yogyakarta merupakan salah satu bangunan cagar budaya yang wajib dikunjungi saat bertandang ke Kota Gudeg. Lantaran lokasi ini menyimpan banyak kisah sejarah. Memiliki luas sekitar 13 hektare, keraton yang berdiri pada 1755 ini juga merupakan pusat kebudayaan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Kekayaan yang tersimpan di Keraton Yogyakarta tidak akan kunjung habis untuk diceritakan. Kunjungan sudah yang kesekian kali pun, tetap memberi kejutan. Lantaran tiap sudut keraton yang menyimpan pengkisahan. Mulai dari sesaji berbentuk gunung-gunung kecil yang selalu diganti setiap hari, sampai beberapa narasi sejarah yang belum umum diketahui oleh masyarakat luas.
Masuk dari muka pintu utama, Batara Kala siap menyambut pengunjung. Sebuah perlambang tentang ikatan waktu. Tinggal menunggu seseorang akan mendapat balas atas perbuatan yang telah dilakukannya sebagai karma.
Menyusur area dalam, bangunan pertama yang dijumpa adalah Bangsal Sri Manganti. Lokasi ini jadi tempat gelar pertunjukkan seni budaya gaya Yogyakarta. Semisal tari, wayang kulit, wayang wong, macapat, atau lainnya.
Melalui Regol Donopratopo, pengunjung diajak masuk ke dalam kompleks kedaton. Sejak memasuki pelataran, pengunjung tidak diperkenankan menggunakan topi. Lantaran tempat ini merupakan rumah tinggal Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Pengunjung tidak diperkenankan mendekati bangunan dengan warna dominan putih dan emas pada sisi barat. Bangunan itu disebut Gedhong Jene atau Gedung Kuning. Umumnya, hanya tamu kenegaraan yang diterima di Gedhong Jene. Contohnya menteri, delegasi suatu negara, atau petinggi kerajaan dari berbagai penjuru dunia.
Tepat di hadapan Gedhong Jene, ada Bangsal Mandalasana. Lokasi ini merupakan tempat pertunjukkan musik. Hiasan kaca patrinya pun berlukis ragam instrumen musik. Khusus untuk menyambut tamu agung, keraton akan menyuguhkan Gamelan Kyai Guntur Laut yang sudah berusia 700 tahun. Konon, gamelan itu sudah ada sejak zaman Majapahit.