“Aduh ananda Firdah, jangan patah hati yaaa
Selamat malam
Terima kasih sudah berbagi puisi yang menyirat kegalauan hati mendalam
Salam hangat selalu” – Tjiptadinata Effendi
Kata-kata di atas adalah komentar dari Opa Tjip di tulisan puisi sederhana saya pada tanggal 3 Oktober 2020. Mengapa saya pilih komentar tersebut? Karena saya sangat senang sekali, saya perdana dipanggil dengan sebutan “Ananda” oleh Opa.
Sebelumnya, sejak saya mulai menulis kembali di Kompasiana pada bulan Mei 2020, Opa Tjip memanggil saya dengan sebutan “Mbak Firda”, begitu pula Oma Roselina juga memanggil saya dengan nada yang sama.
Setelah komentar di atas saya balas dengan “Wah, senang sekali saya dipanggil ananda sama Opa”, tak lama kemudian Oma menyusul membubuhkan komentar. Seperti ini kata-kata Oma:
“Hmm. Oma juga tidak mau kalah dari Opa Selamat pagi ananda Firdah yang cantik Terima kasih sudah puisi indah menyirat kerinduan hati mendalam Salam hangat selalu ya” – Roselina Tjiptadinata
Jujur, saya senang sekali saat itu. Menurut saya, jenis panggilan itu mempengaruhi kedekatan seseorang. Ketika saya dipanggil “Mbak”, saya merasa masih menjadi orang asing. Namun, ketika saya dipanggil “Ananda”, disitu saya merasakan kedekatan emosional yang mendalam, meskipun jarak saya dengan Opa dan Oma sangat jauh. Mungkin ada yang merasakan yang sama dengan saya? Hehe.
Maka tak heran pula jika saya merasa senang sekali ketika beberapa teman Kner memanggil saya dengan panggilan “dek” ataupun sekedar “Firda” saja. Karena dengan begitu, saya merasa kedekatan itu ada, saya merasa diemong atau mungkin lebih dalamnya seperti disayang oleh orang yang lebih tua dari saya. Akan tetapi, buka berarti saya tidak suka dan tidak mau dipanggil “Mbak”, loh. Boleh-boleh saja, silakan, hehe.
Ternyata apa yang saya rasakan ini ada teorinya, loh.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!