Puisi ini kutululis khusus untukmu, biarlah orang-orang turut serta membaca, namun puisi ini tetap kau pemiliknya.
Biarlah mereka tahu bahwa selaksa rindu yang kau ramu sedikit lagi akan menemukan puannya.
Awan pekat benar-benar telah menurunkan benihnya, burung yang mengigil di sudut jendela kamar pun telah mengabarkan rindu pada Sang Tuan. Ah sungguh manis burung-burung itu, walau menggigil tetap saja ia mau menemani kacaunya sang penatap hujan dari sudut jendela kamar..
Pelangi tetiba menggantikan derai hujan, muncul ia dari balik rindang pohon mangga, lalu aku bergegas keluar..
Kudengar pasir-pasir saling berbisik, tunas-tunas asmara telah kutemukan di balik tumpukan-tumpukan. Sesaat kulihat bayangan dua manusia, saling berpegangan tangan merajut cinta di pondok tua, tampak disampinganya sebuah singgasana berlapis-lapis ribuan kalam-Nya. Sungguh menenangkan...
Tiba-tiba saja aku tersenyum, burung manis kembali bertengger di pundakku, berbisik bahwa sang Tuan tengah mensiapkan nahkodanya, ah senyumku kian merekah..
Namun aku hanyalah tersenyum-senyum, sudah berusaha kutepis harapan apapun, karna bagaimanapun aku tak ingin kembali patah...
Datanglah saja, sudah kusiapkan permadani bertabur bunga dengan wewangi cinta memesona..
Malam hari di sudut kota lain, 27 Juli '20
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H