Istilah "cinta buta" sering kali disematkan pada mereka yang mengabaikan tanda-tanda jelas dalam hubungan. Alih-alih melihat kenyataan, mereka memilih percaya bahwa "dia memiliki banyak kebaikan dan kelebihan" atau "nanti dia pasti akan berubah." Namun, cinta bukan sekadar soal baik atau buruknya seseorang, melainkan tentang kesepadanan dan kesejalanan.
Analoginya seperti mencoba meluruskan tulang rusuk yang bengkok. Jika dipaksa, yang terjadi bukan menjadi lurus, melainkan patah. Begitu pula dalam hubungan. Memaksakan diri untuk tetap bertahan hanya akan melahirkan luka lebih dalam di kemudian hari.
Yang penting, setiap orang pernah merasakan cinta, meski terkadang penuh luka. Namun, yang lebih berat adalah jika patah hati terjadi di usia matang, seperti 25 tahun ke atas. Di usia ini, cinta bukan lagi hanya soal rasa, tapi juga menyangkut masa depan---utamanya pernikahan.
Bayangkan, seseorang yang menjalin hubungan serius selama dua tahun, membangun visi bersama, lalu tiba-tiba dikhianati oleh pasangannya yang berselingkuh. Luka yang timbul dari pengkhianatan seperti ini tak hanya dalam, tetapi juga meninggalkan trauma berkepanjangan.
Setelah luka itu, muncul trust issue---rasa tidak percaya pada orang lain. Bahkan setelah berhasil bangkit, mereka harus menghadapi stigma masyarakat yang sering memojokkan. Belum lagi tekanan dari keluarga atau orang tua yang berharap mereka segera menikah.
Luka batin semacam ini membutuhkan waktu lama untuk pulih, dan sayangnya, tak semua orang memahami betapa berat perjuangan seseorang untuk tetap bertahan hidup dalam kondisi tersebut.
Cinta buta sering kali mengajarkan kita bahwa hubungan tak hanya membutuhkan rasa cinta, tapi juga logika. Hubungan yang sehat adalah yang sepadan, di mana kedua pihak saling melengkapi, memahami, dan mampu melangkah bersama tanpa perlu ada yang "memaksakan diri."
Jadi, sebelum terjebak dalam cinta buta, kenali tanda-tandanya, dan tanyakan pada diri sendiri: apakah dia benar-benar sepadan, atau kita hanya terlalu ingin bertahan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H