Di ujung senja yang pudar, ia menatap hilang,
Rencana yang dulu dianyamnya dengan benang-benang emas,
Tari harap yang terbungkus dalam keheningan jari,
Namun, ia terurai, terkandas oleh ombak waktu yang tak kenal ampun.
Mimpi-mimpi yang ia simpan dalam sunyi,
Berselimutkan desir angin, rindu yang tak terucap,
Sekonyong-konyong mengering, layu sebelum sempat menyentuh fajar,
Seperti bunga yang tak sempat mencium pagi.
Namun, di balik segala kehampaan itu,
Ada bisikan lembut yang melampaui batas ruang dan waktu,
Seperti rintik hujan yang tak tampak, menyentuh tanah yang kering,
Ia mendengar suara yang menenangkan---
Bahwa Tuhan, Sang Maha Pengatur,
Tidak membiarkan langit jatuh tanpa menumbuhkan pelangi,
Dan dalam kegamangan yang menyelimuti hati,
Ia hadirkan pagi yang lebih cemerlang dari semua harapan yang lenyap.
Ia mulai memahami bahwa kegagalan adalah rahasia terbesar,
Seperti tanah gersang yang menunggu hujan pertama,
Yang tak tampak, namun selalu siap menyambut benih-benih baru,
Tumbuh lebih hijau, lebih hidup, lebih kaya dalam bentuknya yang baru.
Dari reruntuhan itu, ia bangkit menjadi pohon yang lebih tegak,
Akar yang menguat, ranting yang merunduk penuh syukur,
Seperti bintang yang jatuh, tak sia-sia,
Menjadi meteorit yang menyalakan gelap malam yang sunyi.
Ia bersyukur pada kegagalan, yang ternyata adalah pintu,
Ke sebuah kisah yang lebih mulia, lebih penuh makna,
Sebuah janji Tuhan yang dibawa oleh rahmat,
Mengarahkannya menuju suatu tempat yang tak pernah ia bayangkan---
Di sana, mimpi yang terlupakan akhirnya menemukan rumahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H