Anemia adalah suatu kondisi dimana jumlah sel darah merah atau konsentrasi hemoglobin di dalamnya lebih rendah dari biasanya. Hemoglobin diperlukan untuk membawa oksigen, sehingga apabila seseorang memiliki sel darah merah yang terlalu sedikit, tidak normal, atau tidak memiliki cukup hemoglobin, maka akan terjadi penurunan kapasitas darah untuk membawa oksigen ke jaringan tubuh.Â
Secara global, dua miliar orang menderita anemia, termasuk 315 juta di Kawasan Asia Tenggara. Dalam Kawasan Asia Tenggara, prevalensi anemia pada anak usia 6-59 bulan adalah 53,8% yang berarti 96,7 juta anak terdampak. Di antara ibu hamil, 48,7% mengalami anemia dengan anemia berat yang menyerang 1,1%, sementara 41,5% wanita tidak hamil mengalami anemia, dengan 1,9% wanita mengalami anemia berat, yang memengaruhi total 202 juta wanita anemia usia reproduksi.
Penyebab AnemiaÂ
Anemia disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kekurangan zat besi. Kekurangan zat besi merupakan penyebab umum anemia pada remaja putri dan anak-anak. Kekurangan zat besi dapat terjadi karena rendahnya asupan zat besi, baik zat besi hewani maupun zat besi nabati. Zat besi hewani dan nabati merupakan zat utama dalam pembentukan hemoglobin. Adapun Sumber zat besi hewani, yaitu hati, daging sapi dan kambing, daging unggas, serta ikan. Sementara itu, zat besi nabati bersumber dari sayuran bayam, singkong, kangkung, tempe, tahu, serta kacang merah. Zat besi hewani dapat diserap tubuh sebesar 20-30%, sedangkan zat besi nabati diserap oleh tubuh sebanyak 1 - 10%.Â
Dampak Anemia terhadap KesehatanÂ
Menurut (WHO, 2021), defisiensi zat besi berdampak buruk pada berbagai aspek kesehatan, termasuk:
Perkembangan Kognitif: Zat besi sangat penting untuk perkembangan kognitif dan fungsi otak. Kekurangan zat besi dapat menyebabkan gangguan dalam perkembangan psikomotorik dan kinerja kognitif pada bayi dan anak-anak di seluruh dunia. Bukti menunjukkan bahwa anak-anak yang mengalami anemia defisiensi zat besi memiliki skor lebih rendah dalam tes kecerdasan dan kemampuan kognitif, yang tidak selalu dapat diperbaiki dengan suplementasi zat besi. Selain itu, dampak negatif anemia dapat berlanjut sepanjang hidup, dengan risiko keterlambatan perkembangan dan penurunan IQ yang signifikan.
Ketahanan Terhadap Infeksi: Morbiditas akibat penyakit menular meningkat pada populasi dengan kekurangan zat besi karena defisiensi ini mempengaruhi sistem kekebalan tubuh. Dalam situasi ini, leukosit memiliki kemampuan yang lebih rendah untuk membunuh mikroorganisme yang masuk, dan limfosit juga kurang mampu berkembang ketika distimulasi. Selain itu, konsentrasi sel yang bertanggung jawab untuk imunitas seluler menurun, serta respons tubuh terhadap tes kulit antigen umum melemah.
Kapasitas Kerja dan Produktivitas: Defisiensi zat besi berdampak signifikan terhadap kapasitas kerja dan produktivitas individu, terutama di negara-negara berkembang. Suplementasi zat besi terbukti dapat memulihkan kapasitas kerja dengan cepat dan meningkatkan produktivitas hingga 10%-30%. Pekerja wanita yang mengalami anemia memiliki efisiensi dan produktivitas yang lebih rendah, namun kondisi ini dapat diperbaiki dengan suplementasi zat besi. Selain itu, bahkan pada remaja wanita yang belum anemia tetapi kekurangan zat besi, suplementasi mampu meningkatkan daya tahan dan kinerja fisik mereka.
Kehamilan: Kekurangan zat besi pada ibu hamil meningkatkan risiko kematian ibu, kehilangan bayi, dan kelahiran prematur. Sekitar 40% kematian ibu saat melahirkan terkait dengan anemia. Bayi dari ibu anemia memiliki cadangan zat besi yang lebih rendah dan membutuhkan lebih banyak zat besi lebih awal.
Hormon dan Neurotransmitter: Defisiensi zat besi mempengaruhi produksi hormon tiroid dan neurotransmiter, menyebabkan gangguan respons suhu dan hipotermia pada individu yang kekurangan zat besi.
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!