Indonesia dikaruniai negeri yang subur makmur. Gemah ripah loh jinawi. Tanahnya luas membentang bagai permadani di kaki langit. Sayang tak semua rakyatnya bisa menikmati.
Dilansir dari laman databoks (12/1/2024), sepanjang periode 2009---2022, terdapat 4.107 kasus konflik agraria di Indonesia, yang berdampak pada sekitar 2,25 juta kepala keluarga (KK). Tentu bukan jumlah yang sedikit. Apalagi ini hanya dihitung kepala keluarganya saja bukan jumlah anggota keluarganya.Â
Konflik agraria di tahun 2017 bahkan sampai memakan korban. Tercatat 13 orang tewas, 6 orang tertembak, 369 orang ditahan/dikriminalisasi, dan 612 orang menjadi korban kekerasan. Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria, mayoritas kasus konflik agraria pada 2017 terkait dengan sektor perkebunan, terutama untuk komoditas kelapa sawit, diikuti sektor properti dan infrastruktur. Sungguh miris.Â
Walau sudah lama terjadi namun jumlah kasusnya bukan menurun melainkan justru masih bertambah. Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan bahwa kasus konflik agraria pada tahun 2023 naik menjadi 241 dibandingkan dengan 212 konflik pada tahun 2022, dengan mayoritas konflik terjadi di sektor perkebunan Hak Guna Usaha.Â
Saat penanganan konflik, terdapat kasus penganiayaan sebanyak 91 kasus dengan korban sebanyak 79 korban laki-laki dan 12 korban perempuan dalam konflik agraria tahun 2023 kemarin. Termasuk korban dari konflik di Rempang akibat relokasi paksa karena proyek Rempang Eco-city. Selumrah inikah konflik agraria di tanah air Indonesia dengan luas 1,9 juta km persegi?
Kapitalisme Biangnya
Tak ada asap jika tak ada api. Tak mungkin ada konflik jika tak ada penyebabnya. Salah satunya adalah ketimpangan kepemilikan lahan oleh korporasi. Perpres 78/2023 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan dalam Rangka Penyediaan Tanah untuk Pembangunan Nasional tidak mampu membawa solusi. Perpres ini dikhususkan bagi kelancaran proyek strategis nasional.Â
Program retribusi tanah yang dilakukan pemerintah tak berpengaruh banyak. Karena pemerintah lebih senang memberikan sertifikat lahan yang sudah menjadi hak milik. Ketika warga bertahun-tahun tinggal di suatu lokasi, masih bisa terusir kala investor datang dengan proyeknya. Sebagaimana penduduk Rempang yang terancam diusir dari tempat tinggalnya berpuluh tahun karena proyek Eco-city yang menggaet investor Cina.Â
Inilah wajah pemerintah dalam kapitalisme, investor yang membawa uang disambut dengan girang. Sementara rakyat sendiri yang berusaha mempertahankan tempat tinggalnya diperlakukan tak menyenangkan. Pemerintah akan tetap membuka pintu lebar bagi para investor di semua sektor, industri, hilirisasi bahkan transisi energi. Pemerintah memperhalus kata "digusur" menjadi "digeser". Padahal kenyataannya, rakyat dipaksa keluar dan pindah dari tempat tinggalnya.Â