Mohon tunggu...
Fatikha Widi Akhada
Fatikha Widi Akhada Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN "Veteran" Yogyakarta

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Luar Negeri Indonesia dalam Kerjasama Indonesia-Tiongkok melalui Belt and Road Initiative (BRI)

2 Desember 2023   02:17 Diperbarui: 3 Desember 2023   16:49 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Indonesia merupakan salah satu negara yang menerapkan prinsip bebas aktif. Oleh karena tu, dengan prinsip tersebut mampu membuka peluang yang lebih luas untuk menjalin kerjasama dengan negara manapun salah satunya dengan China. Selain itu, melalui prinsip bebas aktif ini juga tidak akan menjadi permasalahan bagi negara lain contohnya ketika Indonesia bekerjasama dengan China tidak akan mempengaruhi hubungan Indonesia dengan AS mengingat AS dengan China kini tengah berselisih paham. Namun, dengan prinsip bebas aktif memberi kesempatan bagi Indonesia untuk bebas bekerjasama dan tidak berpihak dengan manapun.

Belt and Road Initiative (BRI) merupakan sebuah kebijakan ekonomi yang ditetapkan oleh Pemerintahan Tiongkok saat masa kepemimpinan Xi Jinping pada tahun 2013. Kebijakan tersebut memiliki tujuan untuk menjembatani ekonomi wilayah eurasia melalui infrastruktur, perdagangan, serta investasi. Kebijakan tersebut berupaya meningkatkan kerjasama regional serta meningkatkan relasi dalam cakupan trans-benua.

Proyek tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah proyek yang cukup besar karena melewati 3 benua yaitu Benua Asia, Eropa dan Afrika. Dalam cakupannya yang cukup luas, terdapat dua jalur yang digunakan dalam proyek tersebut. Pertama yaitu the silk road economic, yaitu merupakan jalur sutra berbasis daratan yang menghubungkan antara Tiongkok, Asia Tengah, Asia Timur, Asia Selatan, Timur Tengah hingga ke Eropa. Jalur tersebut nantinya juga akan dilengkapi dengan jalur kereta api, jalan raya, serta jaringan pipa baru.

Jalur kedua yaitu dikenal dengan nama the 21st century maritime silk road yang berkebalikan dengan the silk road economic yang berbasis daratan, the 21st century maritime silk road merupakan jalur sutra yang berbasis laut yang menghubungkan Tiongkok dengan wilayah Asia Tenggara, Asia Selatan, Afrika, Timur Tengah hingga Eropa. Proyek BRI menyimpan potensi yang cukup besar sehingga apabila terdapat negara yang tidak terlibat dalam proyek BRI maka negara tersebut berpotensi mengalami ketertinggalan dalam pertumbuhan ekonomi global. Hal tersebut karena telah lebih dari 70 negara yang terhubung dalam proyek ini sehingga rugi apabila terdapat negara yang tidak mengikuti proyek BRI.

Besarnya potensi yang dimiliki oleh BRI tentunya memunculkan daya tarik bagi negara-negara lain untuk melakukan kerjasama, tak terkecuali oleh Indonesia sendiri. Namun, dapat dikatakan bahwa Indonesia cukup lambat untuk bergabung dengan proyek BRI. Dalam mewujudkan pembuatan infrastruktur tentunya memerlukan biaya yang cukup banyak sehingga Indonesia memerlukan investasi dalam bidang infrastruktur yang lebih banyak lagi.

Hal tersebutlah yang menjadi bahan pertimbangan dalam berbagai faktor untuk menyepakati kerjasama tersebut. Pemerintah Tiongkok sendiri telah melakukan pengenalan gagasan the 21st Century Maritime Silk Road kepada parlemen di Jakarta. Tiongkok juga mendukung strategis maritim di Indonesia begitu pun sebaliknya Indonesia juga turut memberikan dukungan untuk strategi maritim milik Tiongkok.

Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan yang menjadi salah satu poros maritim terpadat di dunia serta menjadi penghubung antara dua samudra dan dua benua dan pasar utama di Asia Tenggara. Dengan potensi wilayah maritim yang dimiliki dan kepentingan nasional antar negara terlihat kemungkinan yang cukup besar untuk melakukan pembangunan pelabuhan yang nantinya dapat dibiayai oleh Asia Investasi Infrastructure Bank (AIIB) dari Maritime Silk Road Indonesia dan Maritime Silk Road Tiongkok berkemungkinan untuk melakukan kerjasama dalam membangun perekonomian bersama.

Keputusan Indonesia untuk melakukan kerjasama dengan Tiongkok melalui proyek Belt and Road Initiative (BRI) tentunya tidak lepas dari politik luar negeri Indonesia. Salah satu tujuan dilakukannya kerjasama melalui proyek BRI ini sesuai dengan program kerja yang sudah dicanangkan dalam visi Presiden Jokowi yaitu untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Poros maritim yang dimaksud disini yaitu menjadi kekuatan yang strategis mencakup Samudera Hindia dan Pasifik. 

Selain itu, yang terpenting juga menghubungan pulau-pulau di negara besar dengan layanan pengiriman reguler menggunakan jalur maritim yang nantinya akan diperoleh konektivitas yang lebih luas dengan negara-negara lain. Sedangkan dalam bidang ekonomi, dapat kita lihat adanya peluang investasi untuk membangun infrastruktur. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam membangun infrastruktur diperlukan dana yang tidak sedikit sehingga diperlukan investasi untuk menjaga pertumbuhan ekonomi tetap stabil, meningkatkan pendapatan dan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat. 

Terlebih lagi tersedia akses dana yang cukup besar dari Tiongkok yang dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Indonesia dalam pembiayaan program infrastruktur. Dalam program BRI antara Indonesia dengan Tiongkok ini akan dijalankan dengan skema B2B atau Business to Business yaitu proyek tersebut tidak akan didanai oleh APBN jadi tidak akan menambah utang luar negeri Indonesia. Namun, Pemerintah Indonesia tetap terlibat dalam pelaksanaannya melalui BUMN dan menyesuaikan dengan ketentuan terkait investasi.

Selain itu, keuntungan lain yang dapat diperoleh Indonesia dalam keterlibatannya dalam proyek BRI yaitu lokasi investasi yang sebagian besar terletak di luar pulau Jawa seperti di Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi sehingga akan meningkatkan perekonomian di wilayah-wilayah tersebut dan tidak hanya berpusat di satu wilayah Jawa. Selain itu, Pemerintah Tiongkok juga memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk mengaktifkan kembali industri manufaktur padat karya (industri sekunder) di Indonesia melalui Foreign Direct Investment (FDI) di berbagai industri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun