Selama ini, kita mendengar kata ’’nuklir’’ menganggap sebagai bahan yang berbahaya dan bisa merusak seluruh bagian bumi. Namun, jika dimanfaatkan dengan benar dan baik, nuklir memiliki potensi besar dalam bidang kesehatan terutama bidang kedokteran nuklir. Kedokteran nuklir merupakan cabang ilmu kedokteran yang menggunakan radiasi terbuka dari nuklir untuk mendiagnosis dan mengobati penyakit, seperti tumor dan kanker. Kedokteran ini berhubungan dengan radiasi/ bahan radioaktif itulah mengapa bidang ini masuk kedalam radiologi maupun radiodiagnostik.
Lucia Rizka Andalusia, Pelaksana Tugas BPOM, menyatakan bahwa ketersediaan produk radiofarmaka lokal sangat penting, namun kapasitas produksi di Indonesia saat ini masih sangat terbatas. Hal ini menyebabkan waktu tunggu yang lama bagi pasien yang membutuhkan layanan diagnosis dan pengobatan kanker, seperti kanker tiroid.
Radiofarmaka adalah produk isotop radioaktif yang digunakan dalam kedokteran nuklir untuk tujuan diagnostik dan terapi, terutama dalam pengobatan kanker. Lucia Rizka Andalusia  juga mengungkapkan bahwa sebagian besar radiofarmaka yang digunakan di Indonesia masih diimpor. Sedangakan radioisotop adalah isotop tidak stabil yang dapat memancarkan radiasi, seperti partikel alpha, beta, ataupun sinar gama.
Penelitian Pusat Riset Radioisotop, radiofarmaka, dan Biodosimetri BRIN, Indra Saptiana menuturkan pengembangan larutan I-131 untuk sediaan oral semakin penting karena kebutuhan yang semakin meningkat di Indonesia. Setidaknya, diperlukan 30.000-40.000 milikuri (mCi) per bulan. Kebutuhan akan produk radioisotop dan radiofarmaka semakin meningkat di masyarakat, tetapi sebagian besar produk tersebut masih bergantung pada impor. Layanan kedokteran nuklir di Indonesia juga sangat terbatas, padahal kedokteran nuklir penting untuk diagnosis dan pengobatan penyakit seperti kanker, jantung, stroke, serta masalah uro-nefrologi. Indonesia dengan populasi sekitar 270 juta jiwa hanya memiliki 61 dokter spesialis kedokteran nuklir. Oleh karena itu, penting untuk mempercepat pengembangan rumah sakit, fasilitas, dan tenaga medis yang kompeten dalam bidang ini.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah pelatihan untuk tenaga medis dan pembangunan fasilitas kedokteran nuklir di rumah sakit. Pelatihan ini dapat dikuti oleh dokter, perawat, radiografer serta tenaga kesehatan lainnya. Universitas Airlangga adalah salah satu universitas yang menyediakan program studi D4 Teknologi Radiologi Pencitraan yang masuk kedalam Fakultas Vokasi. Program studi ini mempelajari tentang anatomi, fisiologi, alat radiologi ( CT-Scan, MRI, X-ray) serta kedokteran nuklir. Mata kuliah kedokteran nuklir ini mempelajari tentang fisika radiasi, proteksi radiasi, fisika imaging dan masih banyak lagi.
Mahasiswa radiologi diharapkan mampu menciptakan inovasi dan pengembangan terbaru dari hal yang telah dipelajari terutama kedokteran nuklir. Hal ini, dilakukan agar kita sebagai mahasiswa Universitas Airlangga tidak hanya tau proses merontgen pasien dengan mengekspos kemudian keluar hasilnya berupa lembaran film tetapi kita juga dibekali ilmu untuk memberikan kontribusi kepada pemerintah maupun negara untuk membatu pengembangan program kedokteran nuklir ini agar segera berkembang kedepannya.
Radioisotop dan radiofarmaka ini dapat menekan angka kanker di Indonesia yang melonjak tajam salah satunya adalah kanker tiroid. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Pada tahun 2020, angka kasus kanker tiroid menduduki peringkat kesembilan dengan jumlah kasus 586.202 jiwa. Prevalensi kanker tiroid pada lima tahun terakhir meningkat menjadi 1.984.927 kasus. Di Indonesia, berdasarkan data Globocan 2021, penambahan kasus tiroid mencapai 13.114 kasus. Pelatihan ini juga memerlukan komunikasi yang baik antar tenaga medis dan tenaga kesehatan agar informasinya dapat dipahami. Begitu juga dengan tenaga kesehatan dan tenaga medis ke pasien komunikasinya harus baik dan sesuai SOP dalam melayani pasien.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bekerja sama dengan perusahaan energi nuklir Rusia, Rosatom, untuk mengembangkan teknologi nuklir di bidang kesehatan, termasuk produksi radioisotop dan radiofarmaka. Tita Puspitasari, Kepala Pusat Riset Teknologi Radioisotop BRIN, berharap kerja sama ini dapat mempercepat pengembangan teknologi nuklir yang sangat dibutuhkan di Indonesia. Â Boris Arseev dari Rosatom berharap teknologi dan solusi yang mereka tawarkan dapat memberikan kontribusi signifikan bagi Indonesia, terutama dalam pemanfaatan teknologi nuklir. Rosatom saat ini fokus pada pengembangan peralatan medis canggih dan pembuatan klaster medis yang menyediakan layanan kesehatan lengkap. Masalah ini, didasari oleh ketersediaan alat pendukung produk radiofarmaka yang kurang memadai, seperti PET-Scan (positron emission tomography-computed tomography scan) dan cyclotron untuk terapi kanker. Hal ini, dikarenakan jumlah rumah sakit yang menyediakan instalasi/ kedokteran nuklir masih sangat minim.
 Terdapat dua rumah sakit dan dua fakultas kedokteran di Indonesia berkolaborasi dengan Siemens Healthineers dan RAD-AID International untuk mengadakan pelatihan kedokteran nuklir dan mencoba mengembangkan alat radiologi. RAD-AID International adalah organisasi nirlaba yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas radiologi dan pencitraan medis di daerah-daerah yang kurang terlayani. Pelatihan ini dilakukan di beberapa lokasi di Indonesia, seperti di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo dan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, serta di RS Hasan Sadikin dan Fakultas Kedokteran Unpad Bandung. Alfred Fahringer dari Siemens Healthineers menjelaskan bahwa pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan lokal dalam teknik diagnostik terbaru, khususnya dalam pencitraan PET/CT, SPECT/CT, dan teranostik, yang penting untuk pengobatan kanker dan penyakit lainnya.
Pelatihan ini diharapkan memberikan dampak positif yang berkelanjutan pada sistem layanan kesehatan di Indonesia, serta meningkatkan kemampuan diagnosis dan pengobatan kanker. Di RSCM dan FKUI Jakarta, pelatihan difokuskan pada pengintegrasian teknologi PET/CT dalam praktik onkologi, sedangkan di RS Hasan Sadikin dan FK Unpad Bandung, pelatihan membahas penggunaan PET/CT non-FDG dalam diagnosis kanker. Sesi-sesi pelatihan ini memberi kesempatan bagi tenaga medis untuk mempraktikkan pengetahuan baru mereka, mengatasi kesenjangan pengetahuan, dan meningkatkan hasil perawatan pasien di seluruh Indonesia. Pelatihan ini diharapkan juga bisa meningkatkan pelayanan radiografer kepada pasien dan membantu pasien dalam menurunkan jumlah angka penyakit kanker di Indonesia.