Mohon tunggu...
Fatih Viorel Margian
Fatih Viorel Margian Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Fatih Viorel Margian, Mahasiswa program sarjana Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Teknologi Yogyakarta yang gemar menjelajahi keindahan alam di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hambatan Dedolarisasi : Pengaruh Hegemoni Amerika Serikat terhadap BRICS ditinjau berdasarkan Perspektif Realisme

29 November 2024   03:27 Diperbarui: 29 November 2024   03:36 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Fenomena Dedolarisasi atau pergantian mata uang dari United States Dollar menjadi mata uang lokal atau domestik dalam pedagangan antar negara atau sebagai cadangan devisa negara telah lama digagas, namun semakin gencar dibahas pasca campur tangan Amerika Serikat dalam perang Russia Ukraina. Teori Realism merujuk pada pendekatan yang menganggap negara sebagai aktor utama dan bertindak berdasarkan kepentingan nasional di dalam sistem internasional. Dalam konteks perdagangan internasional, realisme menekankan pentingnya kekuatan ekonomi dalam menentukan posisi dan pengaruh negara dalam sistem internasional. Dalam konteks ekonomi politik internasional, realisme menekankan pentingnya kekuatan ekonomi dalam menentukan posisi dan pengaruh negara dalam sistem internasional, negara-negara realis akan berusaha untuk memaksimalkan keuntungan ekonomi mereka dengan cara yang paling menguntungkan bagi negara mereka sendiri. BRICS sendiri memiliki potensi sebagai ancaman bagi hegemoni Amerika Serikat karena terdapat Rusia dan China didalamnya, terlebih lagi menurut penuturan Duta Besar Afrika Selatan untuk BRICS pada 24 April 2023, Anil Sooklal, menyebut bahwa ada 19 negara yang ingin bergabung dengan BRICS baik meminta bergabung secara resmi maupun informal (Kompas, 2023).

Rancangan pembahasan penggunaan mata uang selain Dollar pada aliansi BRICS sudah di gagas sejak pertemuan pada Juni 2009, para pemimpin negara BRICS ingin agar negara anggota memiliki posisi yang kuat dalam perekonomian global. Hingga saat ini, implementasi mata uang domestic BRICS belum dapat diterapkan, sehingga dengan pemberian sanksi oleh negara-negara barat kepada Rusia atas penyerangannya terhadap Ukraina menyebabkan dicetuskannya kembali isu tersebut pada tahun 2023 oleh Moscow. Pada akhir bulan Maret, Presiden Rusia Vladimir Putin mengeluarkan kebijakan luar negeri baru yang memberikan perhatian khusus kepada India dan China. Pengumuman ini terjadi beberapa hari setelah Presiden China Xi Jinping melakukan kunjungan ke Moskow untuk memperkuat kerjasama pada bulan Maret (Sorongan, 2023). BRICS mengambil inisiatif untuk mengurangi ketergantungan negara terhadap dolar dalam serta meningkatkan kemandirian mereka dalam sistem keuangan global. Persiapan mewujudkan mata uang baru akan ditunjukkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi BRICS dan akan diadakan pada bulan Agustus 2023 di Durban, Afrika Selatan. Alexander Babakov, Wakil Ketua Duma Negara Rusia, menyatakan bahwa mata uang baru ini akan didasarkan pada strategi yang tidak mengandalkan dolar (Utami, 2023).

Amerika Serikat dinilai memiliki Hegomoni yang cukup berpengaruh dalam kancah internasional, baik Economic Power, Political Influence, maupun Foreign Policy yang dimilikinya. US Dollar sendiri merupakan cadangan mata uang dunia, dan perputaran ekonomi global Sebagian besar berpusat di Amerika, terlebih lagi terdapat influensi cukup kuat yang tergambar dengan adanya dominasi Amerika Serikat pada organisasi internasional seperti PBB, WTO, dan bahkan World Bank. Terlebih lagi, dengan adanya indikasi akan bergabungnya Uni Arab Emirates (UAE), Mesir, Argentina, Iran, dan negara lainnya ke BRICS menimbulkan Security Dilemma bagi Amerika dan sekutunya. Saat ini, ketika Amerika Serikat menghadapi berbagai tantangan militer, politik, dan ekonomi, menyebabkan supremasi hegemoninya terkikis. Ekonomi AS menurun ketika AS terlibat dalam intervensi militer. Untuk menebus kerugian ini, mereka mengambil pinjaman untuk memperbaiki sistem keuangan mereka. Namun, langkah-langkah ini mengubah utang federal menjadi merah. Defisit kumulatif diperkirakan akan mencapai sekitar $9,5 triliun pada tahun 2020, menurut Kantor Anggaran Kongres. Utang publik, yang merupakan 62% dari PDB pada tahun 2010, diperkirakan akan mencapai 90% pada tahun 2020, 110% pada tahun 2025 dan 180% pada tahun 2035. Menurut Steven Walt, tantangan terbesar yang dihadapi Amerika Serikat saat ini bukanlah munculnya kekuatan lain untuk bersaing dengannya, melainkan akumulasi utang, infrastruktur yang mengalami penurunan, dan pertumbuhan ekonomi yang melambat (Vilchez, 2016)

Meskipun kepercayaan terhadap Hegemoni Amerika Serikat mengalami penurunan yang cukup signifikan sejak invasinya ke Iraq, negara lain tetap tidak bisa menyepelekan Hegemoni Amerika, terlebih dominasi mata uang dan pengaruh dalam organisasi internasional sebagian besar masih dipegang Amerika. Pasca World War II, Amerika Serikat menginisiasi penciptaan sistem Bretton Woods, Dana Moneter Internasional, Bank Dunia, dan bersama dengan Marshall Plan, menciptakan sistem moneter internasional berdasarkan dollar AS. Selain itu, Amerika Serikat juga telah membangun hegemoni institusional dalam bidang ekonomi serta keuangan internasional menggunakan manipulasi peraturan dan regulasi organisasi internasional, termasuk sistem pemungutan suara tertimbang, "persetujuan mayoritas 85 persen", dan hukum perdagangan dalam negeri, serta regulasi. Dengan mengeksploitasi status dolar sebagai mata uang cadangan internasional utama, Amerika Serikat melalui kendali lembaga internasional, ia memaksa negara lain untuk melayani strategi politik dan ekonomi AS (US Hegemony and Its Perils, 2023). Dengan adanya Hegemoni tersebut, menyebabkan Security Dilemma yang dirasakan negara lain seperti Rusia dan China, yang kemudian diperlukan tindakan Balance of Power dan melahirkan berbagai gagasan salah satunya penggunaan mata uang domestik dalam perdagangan antar negara terutama anggota BRICS.

Hegemoni ekonomi Amerika dapat dinilai sebagai senjata geopolitik. Diperkuatnya sanksi sepihak dan "yurisdiksi jangka panjang," Amerika Serikat menegakkan hukum domestik begitu pula Undang-Undang Kekuatan Ekonomi Darurat dalam skala Internasional, Undang-Undang Akuntabilitas HAM Global, dan peraturan terkait sejumlah perintah eksekutif yang dikeluarkan AS melalui sanksi. Sanksi dapat ditujukan kepada negara, organisasi, dan individu. Statistik memberikan data terkait sanksi AS terhadap perusahaan asing mengalami peningkatan sebesar 933% sejak tahun 2000 hingga 2021. Selama pemerintahan Trump saja, lebih dari 3.900 sanksi dijatuhkan, atau tiga sanksi per hari. Amerika Serikat sejauh ini telah memberlakukan sanksi ekonomi terhadap sekitar 40 negara, termasuk Iran, China, Korea Utara, Rusia, Kuba, dan Venezuela (US Hegemony and Its Perils, 2023). Berdasarkan sedut pandang Realisme, hegemoni Amerika Serikat dapat berpengaruh signifikan pada negara-negara BRICS yang berpotensi merugikan perekonomian. Ditinjau dari segi politik, Amerika memiliki pengaruh cukup signifikan terhadap lembaga-lembaga internasional seperti PBB, IMF, dan World Bank. Amerika Serikat bisa saja memanipulasi regulasi dan keputusan badan-badan ini atas dasar kepentingan dan preferensi nasionalnya sendiri. Hal ini dapat berimplikasi pada negara-negara BRICS yang mengandalkan dukungan serta bantuan dari lembaga-lembaga tersebut. Bahkan, Amerika Serikat juga dapat memanfaatkan ancaman militer dan bantuan keamanan untuk membujuk negara-negara BRICS agar mengadopsi kebijakan sesuai dengan kepentingan Nasional mereka.

Hubungan antara Amerika Serikat dengan aliansi BRICS memiliki potensi timbulnya dilema keamanan, misalnya ketika kebijakan keamanan yang diterapkan pihak Amerika Serikat dianggap berbahaya oleh negara-negara BRICS, yang dapat menimbulkan kecemasan dan ketegangan. Upaya salah satu pihak dalam meningkatkan keamanan, misalnya memperbanyak persenjataan ataupun menyelenggarakan latihan militer, dapat dimaknai para pihak lain sebagai potensi ancaman. Hal ini lantas dapat memicu reaksi defensif dan terjadi peningkatan persenjataan di pihak yang berseberangan, yang kemudian dapat memperburuk ketegangan dan meningkatkan resiko eskalasi konflik. Tindakan seperti hegemoni, dominasi, intimidasi, penggunaan kekuatan untuk mengintimidasi yang lemah, pemerasan pihak lain, dan permainan zero-sum menimbulkan bahaya serius bagi perdamaian, pembangunan, kerja sama, dan keuntungan bersama. Amerika telah menggunakan kekuatannya untuk menyingkirkan kebenaran dan menginjak-injak keadilan untuk memajukan kepentingannya sendiri. Praktik hegemonik unilateral, egois, dan regresif semakin menjadi sasaran kritik keras dan tentangan dari komunitas internasional. Rusia dan China menolak segala bentuk politik hegemonik atau otoriter, dan menolak campur tangan dalam urusan internal negara lain. Amerika Serikat harus secara serius merenungkan hal ini. Amerika Serikat harus mengkaji secara kritis apa yang telah dilakukannya, melepaskan arogansi dan prasangka, serta mengakhiri praktik hegemoni, dominasi dan intimidasi (US Hegemony and Its Perils, 2023).

AS menciptakan ruang bagi negara-negara berkembang, namun kurang lebih AS mengelolanya sedemikian luas hingga memungkinkan timbul hegemoni AS sehingga seiring negara berkembang semakin kaya, negara maju juga semakin kaya. Oleh sebab itu, tantangan hegemoni dengan memperluas staf administrasi atau eksekutif pada lembaga keuangan merupakan hal umum, Hingga muncul sistem ekonomi baru. Hampir semua negara BRICS (kecuali Rusia, yang mereka adalah bagian dari grup G8) memegang hegemon regional. Negara-negara tersebut mengadvokasi secara sepakat terkait multilateralisme, khususnya pada tingkat internasional. Selain itu, diharapkan lembaga keuangan untuk berdagang di tingkat regional dengan mata uang regional setempat. Bahkan beberapa negara BRICS ingin memperluas bahasa nasional mereka seperti Brazil dan India. Hal tersebut berimplikasi pada restrukturisasi sistem keuangan global. Terlepas dari fragmentasi BRICS, mereka merupakan pemimpin regional yang menarget hegemoni regional. Meskipun China dan India, berada di kawasan yang sama, namun tetap memungkinkan adanya ketegangan pada solidaritas BRICS. Hal tersebut juga berlaku dengan Brazil, yang bersaing dengan Meksiko. China lebih dekat dengan Amerika Serikat dibandingkan BRICS atau third world countries lainnya. Karena China memiliki 25 miliar dolar dalam perdagangan dengan seluruh benua Afrika, yang lebih kecil dibandingkan perdagangannya dengan India, meskipun begitu mitra terbesar China bukanlah India melainkan tetaplah Amerika Serikat (Adnan, 2014). Dengan pertimbangan tersebut, tindakan Balance of Power perlu dirancang dengan kritis oleh negara-negara anggota aliansi BRICS untuk mengimbangi Hegemoni Amerika Serikat.

Hubungan antara Amerika Serikat dengan aliansi BRICS (Brazil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan) mengandung dinamika Balance of Power yang kompleks. Di satu sisi, Amerika Serikat sebagai kekuatan dominan yaitu dengan kekuatan ekonomi, militer, dan politik memiliki pengaruh signifikan terhadap lembaga-lembaga internasional serta memainkan peran penting dalam mengelola pemerintahan global. Selain itu, AS juga memiliki aliansi militer yang kuat seperti NATO. Sebagai negara hegemonik, Amerika Serikat mampu mempengaruhi politik dunia dan juga memainkan peran sentral pada pengaturan agenda internasional. Di sisi lain, aliansi BRICS beranggotakan negara dengan potensi ekonomi serta kekuatan politik yang cukup kuat. Negara anggota BRICS merupakan negara berpopulasi besar, kaya akan sumber daya alam, dan ekonomi yang tumbuh dengan cepat. Dalam beberapa dekade terakhir mereka telah mengambil langkah signifikan dalam meningkatkan status dan pengaruh mereka dalam tatanan dunia. Meskipun aliansi BRICS memiliki potensi besar, terdapat tantangan intens untuk mencapai Balance of Power yang setara Amerika Serikat. Perbedaan ekonomi dan militer antara AS dan negara anggota BRICS merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi Balance of Power. AS memiliki anggaran ekonomi dan militer jauh lebih besar daripada negara anggota BRICS mana pun. terdapat pula perbedaan antara negara-negara BRICS dalam hal kepentingan dan pendapat politik. Meskipun mereka beraliansi, belum tentu selalu sepakat dalam semua masalah politik dan ekonomi. Dalam konteks ini, perimbangan kekuatan antara Amerika Serikat dan aliansi BRICS dapat dipengaruhi oleh dinamika persaingan dan kerjasama di antara keduanya. Negara-negara BRICS telah mencoba memperkuat posisi dan pengaruhnya melalui kerja sama regional dan pembentukan lembaga alternatif seperti BRICS Development Bank. Namun, Amerika Serikat memiliki kehadiran dan pengaruh yang kuat di panggung internasional.

Maka dari itu, Pengaruh Hegemoni Amerika Serikat terhadap BRICS ditinjau berdasarkan perspektif Realism dapat dikatakan sebagai pemantik potensi kerjasama antara anggota BRICS, untuk menantang Hegemoni Amerika Serikat terutama di bidang Ekonomi. Ditinjau dari aspek ekonomi, prospek keberhasilan mata uang yang dikeluarkan negara-negara BRICS masih baru. Meskipun rencana masih dalam masa pertumbuhan dan banyak pertanyaan praktis masih belum terjawab, mata uang seperti itu dapat sepenuhnya menggantikan dolar AS sebagai mata uang cadangan BRICS. Tidak seperti pesaing yang diusulkan sebelumnya seperti yuan digital, mata uang hipotetis ini memiliki potensi untuk menjungkirbalikkan, atau setidaknya menggoyahkan, status dolar sebagai mata uang utama. Jika negara-negara BRICS hanya menggunakan negara-negara BRICS sebagai mata uang perdagangan internasional, mereka akan menghilangkan hambatan yang saat ini mencegah mereka keluar dari hegemoni dolar. Saat ini, upaya tersebut seringkali berbentuk perjanjian bilateral yang mengatur perdagangan mata uang non-dolar seperti yuan, yang saat ini menjadi mata uang perdagangan utama antara China dan Rusia. Jika China dan Rusia hanya menggunakan mata negara-negara BRICS untuk perdagangan, Rusia tidak perlu lagi mendata hasil perdagangan bilateral dalam dolar. Pada dasarnya, Rusia menggunakan mata uang negara-negara BRICS dan bukan dolar untuk membeli impor lainnya. Akhirnya US dolar dihapuskan dalam perdagangan aliansi dan De-dolarisasi berjalan sebagaimana yang diinginkan negara-negara BRICS. Negara-negara BRICS juga siap untuk mencapai tingkat kemandirian dalam perdagangan internasional yang belum pernah dicapai oleh serikat moneter lain di dunia sejauh ini. Karena serikat moneter BRICS, tidak seperti semua pendahulunya, tidak akan memasukkan negara-negara yang terikat oleh batas teritorial bersama, anggotanya kemungkinan akan dapat menghasilkan barang yang lebih luas daripada serikat moneter yang ada (Sullivan, 2023).

Geopolitik negara-negara BRICS juga rumit. Namun, mata uang BRICS berpotensi mewakili kerja sama di ranah yang jelas dimana kepentingan sejalan satu dengan yang lain. Negara-negara seperti India dan Cina mungkin mempunyai kepentingan keamanan yang bertentangan. Meskipun begitu, India dan China memiliki tujuan yang sama dalam de-dolarisasi. Lantas mereka dapat bekerja sama untuk kepentingan bersama sambil bersaing dalam masalah lain. Ketika BRIC menggantikan dolar sebagai mata uang cadangan BRICS, reaksinya akan beragam dan tidak merata. Pejabat BRICS juga memiliki beragam pendapat terlebih lagi bagi yang memiliki hubungan dekat dengan pemerintahan Amerika Serikat, beberapa Republikan di Senat AS dan ekonom terkemuka semuanya mendapatkan tepuk tangan meriah dari Presiden AS Joe Biden. Mantan Presiden AS Donald Trump dan komunitas keamanan nasional AS, yang sering bentrok dengannya, juga bisa memprotes keras. Terakhir, dominasi dolar sepertinya tidak akan berakhir dalam semalam, tetapi bisa saja negara-negara BRICS mulai memperlambat dominasinya (Sullivan, 2023). Dengan begitu, dalam pandangan realism dapat dikatakan bahwa, Pengaruh Hegemoni Amerika Serikat masih sangat kuat terhadap tindakan yang dapat diambil oleh aliansi BRICS, sehingga diperlukan regulasi yang matang dan terstruktur untuk memperkuat aliansi sembari menyusun strategi perimbangan kekuatan.

Sources :

- https://www.cnbcindonesia.com/news/20230411075801-4-428790/heboh-muncul-fenomena-dedolarisasi-hingga-aksi-jauhi-as

- https://international.sindonews.com/read/1072907/45/alasan-brics-ditakuti-amerika-serikat-dan-sekutunya-1681455896

- https://www.kompas.com/global/read/2023/04/27/190100970/19-negara-disebut-berminat-gabung-brics-termasuk-indonesia

- https://www.fmprc.gov.cn/mfa_eng/wjbxw/202302/t20230220_11027664.html

- https://atlascorps.org/is-u-s-hegemony-declining-an-attempt-of-discussion-to-avoid-the-manipulation-of-the-subject/

- https://foreignpolicy.com/2023/04/24/brics-currency-end-dollar-dominance-united-states-russia-china/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun