Mohon tunggu...
Humaniora

Pemulung dari Kota Pendidikan

19 Desember 2016   12:16 Diperbarui: 19 Desember 2016   14:00 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pemulung, profesi yang hanya di pandang rendah oleh sebagian orang. Namun tidak banyak orang mengira bahwa menjadi seorang pemulung adalah pekerjaan yang tak boleh kita remehkan. Itulah profesi yang sampai saat ini masih dijalani Ngatiman. Ayah dari dua orang anak ini sudah 16 tahun menjadi Pemulung di salah satu kota di Jawa Timur. Pekerjaan kecil yang sehari-hari dijalani dengan penuh rasa tanggung jawab yang besar tidak membuat Ngatiman berkecil hati.

Lelaki kelahiran Tumpang ini setiap bulanya mendapatkan penghasilan sekitar Rp 1.500.000. Walau dengan gaji yang cukup kecil itu, Ngatiman tetap menerimanya dengan penuh rasa syukur. Selain karena panggilan, alasan lain mengapa Ngatiman memilih bekerja sebagai Pemulung adalah, karena tidak ada pekerjaan lain yang sesuai dengan keahlian dan latar belakang pendidikannya. Sekali lagi Ngatiman tetap bersyukur, di kota besar seperti Malang masih banyak orang yang tidak memiliki pekerjaan, bahkan bergantung hidup dengan orang lain. Ayah dari dua orang anak ini tetap menunjukkan senyum sembari menjalani pekerjaanya.

Semua pekerjaan pasti ada hambatannya, hal itu juga sering dialami Ngatiman. Menjalani profesi sebagai Pemulung tidak membuat Ngatiman terbebas dari berbagai hambatan dan masalah. Terkadang ada orang-orang yang memarahinya karena mengambil sisa sampah. Padahal itu semua adalah untuk kenyamanan dan kebersihan bersama. Dengan senyum khasnya, Ngatiman terus bersabar menghadapi segala hambatan yang ia yakini sebagai ujian dalam pekerjaan yang sedang dijalaninya itu.

Jika ada waktu luang, Ngatiman menggunakannya dengan sebaik-baiknya untuk membaca Al-Qur’an. Ia tidak ingin ketinggalan dalam berburu amal untuk bekal di Akhirat kelak. Walau Ia miskin harta di Dunia, Ia tidak ingin miskin di Akhirat kelak. Ia selalu ingin menjalani hari demi hari menjadi semakin lebih baik. Di usianya yang ke 39, Ngatiman semakin sadar bahwa umur semakin habis dimakan waktu. Kapan lagi banyak-banyak melakukan ibadah, kalu bukan sekarang?         

Menjadi Pemulung dijalani ngatiman mulai tahun 2000. Pemulung yang selalu mengenakan Topi merah ini banyak dikenal Mahasiswa, baik karena penampilannya yang khas, maupun sikap ceria dan penuh semangat. Sungguh banyak pelajaran atau hikmah yang mampu kita petik dari kisah pemulung ini, dari semangatnya, dari ketaatannya dalam beribadah kepada tuhannya. Bagaimana semangatnya yang begitu luar biasa untuk mencukupi kebutuhan keluarga yang dipimpinnya.

Mudah-mudahan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua terutama bagi diri penulis pribadi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun