Semalam, sebelum matahari membelah dirinya sendiri, dan terbenam bukan pada barat atau timur. Ibu menyuruh ku menutup jendela dan mencegah angin musim dingin masuk dan bertamu. Lalu menyakiti ku yang masih ingin berlindung dalam selimut. Yang hangatnya tak pernah lebih atau menang atas rasa hangat yang dari hati mu, pada ku. Dan tiba-tiba saja aku ingin menulis sebuah surat untuk kau, yang sedang berkelana nun jauh entah dimana. Aku ingin tau apa kau juga merasakan dinginnya angin malam musim dingin seperti ku saat ini. Apa kau juga sedang berlindung dalam selimut seperti ku saat ini. Dan yang akan selalu aku ingin ketahui, apa kau juga rindu lalu ingin menulis surat untuk ku seperti yang ku rasakan saat ini. Atau malah kau sedang sibuk menjelajahi dunia, dan lupa pada ku. Lupa pada kita?.
Kalau sudah begini aku tak bisa lagi menguasai hati ku sendiri, yang sudah sesak dirasuki rasa keingintahuan ku, atas keberadaan diri mu. Juga dengan hati mu. Ku tulis sebuah surat yang kata-katanya terlalu semerawut untuk dibaca, diksinya membingungkan untuk dimengerti. Aku khilaf. Karna rindu tak pernah benar-benar bisa tertulis hanya dalam secarik kertas. Aku merusak surat untuk mu. Kertas ku jadi penuh makian, cacian, rasa amarah yang masih ingin ku tumpahkan pada mu, yang ingin menjarah mu dengan pernyataan, mengapa kau pergi berkelana. Mengapa kau tak pernah mengerti perasaan orang lain di sekeliling mu. Mengapa kau jadi egois begini. Juga kata-kata maaf yang belum sempat terucap, kalau-kalau kau dimakan serigala di sana. Dan aku belum sempat meminta maaf atas segala kenakalan ku. Aku belum sempat melihat wajah terakhir mu, aku jadi takut. Dan puluhan bait puisi berserakan ku tulis tanpa aturan di kertas surat untuk mu.
Hingga terlalu penuh untuk sekedar menulis nama ku, sebagai sang pengirim yang terlalu pengecut untuk meringkaskan kata-kata yang ingin ditulis. Terlalu bodoh untuk hanya untuk menyimpulkan kalau aku sebenarnya rindu. Aku terlalu rindu. Dan akhirnya merusak surat ku sendiri. Surat ku untuk mu.
Dan langkah kaki ku jadi terlalu kaku untuk berjalan, mengantarkan surat ku kepada Pak Pos. Lidah ku jadi terlalu kelu kalau nanti ditanya kemana surat ini akan dikirim, lalu bagian dunia mana yang harus ku sebut. Sedang aku tak tau sejauh apa kau sudah berjalan. Tanpa aku. Menyebut nama mu pun, aku masih malu. Barangkali Pak Pos akan bertanya apa peran mu dalam hidup ku? Atau siapa itu kau sebenarnya. Menjawabnya pasti akan butuh waktu lama untuk menguntai ribuan kata, menjadi kalimat. Mengeluarkan kenangan dari ingatan ku.
Dan akhirnya hanya aku hanya akan dianggap seperti orang gila yang tengah malam dingin begini ingin mengirim surat, mengoceh tak karuan seperti mengigau.
Dan pada akhirnya aku hanya akan jadi seorang pengecut yang berkhayal kalau burung-burung parkit yang bergerombol dekat taman, tau dimana kau berada. Dan aku memutuskan untuk menitipkan surat ku pada mereka. Dengan imbalan potongan sisa-sisa roti di kotak bekal makan siang ku, yang belum dibuang Ibu. Aku pulang dengan resah. Dengan ribuan imajinasi, tentang bagaimana reaksi mu jika benar surat itu sampai pada mu. Kalau kau tau betapa kurang ajarnya aku, yang tidak sopan mengirimi surat hina seperti ini. Apa kau masih sudi membacanya. Aku akan merasa bersalah jika tau kau harus susah payah merogoh kantong mu, mencari kaca mata di tas mu. Hanya untuk melihat lebih jelas, tulisan ku yang seperti benang kusut.
Atau jangan-jangan kau malah tersesat di suatu tempat. Di sebuah persimpangan, dan kau tak tau harus melangkah kemana, kau kehilangan arah dan tujuan. Kau tak punya pegangan. Dan aku tak di sisi mu. Aku ingin menjemput mu pulang. Menuntun mu dengan penuh kasih sayang, memastikan mu sampai ke rumah tanpa kuyup hujan. Aku akan bertahan di depan pintu rumah mu, menanti mu. Berharap kau keluar lagi dan menawarkan minum teh bersama. Berbincang tentang masa lalu. Membacakan sebuah dongeng, sebelum aku menyerah dan jatuh dipeluk lelap di pangkuan mu. Berpura-pura bermimpi sambil mengagumi lantunan nina bobo dari suara datar mu.
Dan esoknya aku sadar kau tetap tak akan membaca surat ku yang bahkan belum ku tulis. Semuanya hanya sebatas khayalan ngawur ku semata. Karna saat Ibu membangunkan ku, saat aku membuka mata dan melihat kesekeliling. Aku tau kau tak ada dimana-mana. Entah, kau sedang apa, ataukah tersesat seperti dalam mimpi semalam, atau benar hilang.
“ya Allah Gusti Pangeran jaga orang-orang yang aku sayangi dimana pun mereka berada, jangan biarkan mereka tersesat dan tak tau arah.. Amin”
Teruntuk : Alm. Nenek ku, Ayah yang tercinta, Ibu ku yang tercinta dan para sahabat :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H