Aku tak tega kepada diksi-diksi pengahantar rindu. Tak berpuan, bertujuan sampai jua tidak. Kau semakin jauh. Sementara rindu ini tak kunjung menemuimu. Kulepaskan mereka kepada malam yang menuntut pelukan.
Kejauhan, pelukan itu mampir ke kekasih barumu. Menjelma tangis teruntuk puisi-puisiku. Sayup-sayup ku dengar tangisan mereka. Hatiku lebih tabah, takut mengusik kehangatanmu.
Mereka berbalik arah.
Untuk apa kalian berbalik. Bentakku
Untuk menusuk tuan. Timpalnya
Mereka menusuk dengan cepat. Langsung menuju hati. Merusak sekian banyak namamu yang kusimpan rapi. Hatiku lebih tabah sekali lagi. Walau terluka oleh puisiku sendiri. Lebih sakit daripada kau yang melukainya.
Aku salah beranggapan sok tabah. Esoknya, tanganku layu. Yang seharusnya masih melahirkan syair-syair tentangmu. Sisi lain, mataku menegang mengeluarkan linangan bening. Bukan TANGIS!!
Aku gantungkan puisiku 20 meter diatasmu. Yang siap menyurupa payung. Meneduhkan saat kau mulai kehilangan pelukan kekasihmu. Saat kau sadari itu. Puisi itu sudah tak tertera siapa pengirimnya. Sebab, aku sudah mati bersama perasaanku.
Sudut Rindu, 8 Juni 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H