Mohon tunggu...
Fatih AbAz
Fatih AbAz Mohon Tunggu... -

Indonesia asli, Suka sastra, komunikasi, fotografi, marketing, dunia kemanusiaan, organisasi, traveling, dll.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Masjid Mega Tanpa Toilet (4)

2 Juni 2013   11:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:39 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seri Manajemen Masjid

Saya tidak menduga jika tulisan saya yang bertajuk Masjid Megah Tanpa Toilet(MMTT) harus beranak pinak. Ketertarikan saya mencermati kondisi Masjid-masjid dan kecintaan saya pada Masjid mendorong saya untuk berbagi pengalaman dan pemikiran. Perpaduan antara mencermati dan upaya kontemplasi inilah yang mengharuskan saya menyodorkan bahan diskusi bagi kita semua ummat Islam. Maka hasilnya muncul kelanjutan MMTT 2, MMTT 3 dan yang sedang anda baca ini adalah MMTT seri keempatnya.

Fakta bahwa sebagian besar pengurus masjid kita masih menjadikan ukuran fisik sebagai ukuran keberhasilan kepengurusannya rasanya tidak bisa dibantah lagi. Karena belum sebulan saya bertugas di kota Padang, saya telah mendengar melalui radio, bahwa pembangunan Masjid Agung Sumatera Barat yang dalam rencananya memerlukan biaya mencapai 332 milyar. Pembangunan yang sudah dimulai sejak 2006 itu hingga saat ini masih dibutuhkan dana sekitar 155 milyar. Saya yang pada saat itu mendengarkan melalui radio mobil, sontak tertawa. Padahal saya sendirian.

Kabar berita ini seperti menggoda saya untuk melanjutkan tulisan seri manajemen masjid MMTT 4. Lalu saya terpikir, betapa berat beban kota Padang ini. Karena dalam satu kota bisa terdapat masjid Agung Padang, beberapa Masjid Raya dan di kota yang sama berdiri pula Masjid Agung Sumatera Barat. Padahal untuk ketiga masjid tersebut pasti harus bersaing mencari jamaahnya. Semakin besar gelar masjidnya pasti semakin besar fisik masjidnya, semakin besar juga kapasitas jamaahnya dan semakin sulitlah mencari jamaahnya.

Belum lagi faktanya, di kota Padang ini terdapat 500 lebih masjid. Tak heran jika ada masjid ke masjid yang berjarak hanya sekitar 300 meter. Padahal, masjid-masjid megah yang saat ini telah berdiripun telah hampir frustasi mencari jamaah. Karena yang datang dan sholat disana bukanlah jamaah sesungguhnya, melainkan pengunjung. Orang-orang yang kebetulan rehat dalam perjalanan sekalian sholat. Jamaah dalam artian masyarakat sekitar yang terus menerus dan dalam jumlah yang meyakinkan, masih sulit ditemukan.

Saya juga pernah melakukan wawancara kecil-kecilan saat singgah untuk sholat di beberapa masjid. Kebetulan masjid yang saya singgahi tengah melakukan renovasi atau pembangunan baru. Saya berkenalan denga garin/ marbotnya yang kebetulan juga mahasiswa perguruan tinggi Negeri di Kota Padang. Saya tanya, ‘sudah berapa lama renovasi masjid ini dilakukan?’ Sudah hampir 2 tahun katanya. Masih kurang apa saja?, lanjut saya. ‘Ooh, masih kurang tempat berwudhuk, kubah dan menara pak,’ jawabnya. Jamaah masjid dsini banyak? ‘Tidak juga pak, ya sekitar 15 orang yg laki-laki, ibu-ibu 10 orang. Itu kalau magrib pak, kalo isya apalagi subuh, kurang dari itu pak. Tapi alhamdulillah pak, kalo Jumatan ya ramai juga pak,’ ungkapnya sembari nyengir.

Lalu dialog berlanjut seputar program apa saja yang dilakukan dimasjid tersebut, bagaimana kepengurusan masjid, dan hal-hal ringan lain. Jika ada kesempatan, saya selalu mencoba ingin mengetahui keadaan tiap-tiap masjid yang saya kebetulan singgahi.

Pertanyaan yang kurang lebih sama dengan dialog diatas. Dan saya mendapatkan keterangan yang juga hampir serupa. Gambaran kondisi masjidnya juga nyaris sama. Di masjid-masjid yang saya singgahi tersebut, saya menemukan bahwa Garin-garin masjid itu umumnya jika tidak sudah lanjut usia, maka biasanya ia mahasiswa. Masjid yang berisi garin berusia senja umumnya masjid yang berada dipinggir perkotaan dan kampung-kampung. Sementara masjid yang garinnya berstatus mahasiswa umumnya adalah masjiid yang berada di kawasan sekitar kampus.

Garin mahasiswa ini modusnya juga bisa ditebak. Ia adalah perantau, lulusan pesantren atau madrasah aliyah yang setidaknya memiliki sedikit pengetahuan agama. Setidaknya pandai membaca al quran, untuk ber adzan suaranya lumayan, berasal dari keluarga ekonomi pas-pasan yang pastinya membutuhkan tempat naungan gratisan dan subisidi lain yang memungkinkan didapat jika ia mau hidup prihatin sebagai garin di masjid.

Tetapi ada yang menarik mengamati peran garin yang berstatus mahasiswa  ini. Perannya di masjid tidak sekedar menjaga keamanan masjid, menjaga kebersihan, melakukan panggilan sholat dan sesekali menjadi imam cadangan. Di beberapa masjid malah ia sekaligus menjadi imam sholat, karena jamaah yang berasal dari warga setempat memang tidak memiliki kemampuan untuk itu.

Namun, meski perannya cukup banyak dan penting, yang namanya garin ya tetap garin. Ia sejatinya hanya pekerja atau pesuruh yang ditugaskan untuk menjaga masjid. Segala kebijakan pengelaolaan masjid tetap  berada ditangan Pengurus Masjid/ takmir. Anehnya, kebanyakan Pengurus masjid tidak menjalankan fungsi utamanya untuk mengurusi masjid secara serius. Banyak hal yang prakteknya didelegasikan kepada garin. Sementara pengurus masjid tidak banyak terlibat. Padahal menjadi pengurus masjid sebenarnya menjadi abdi yang diberi mandat untuk memakmurkan masjid.

Menjadi pengurus masjid seringkali dianggap posisi yang penting di masyarakat. Tidak Cuma penting tetapi juga mempunyai gengsi tertentu. Tetapi begitulah jadinya masjid jika pengurus masjid tidak memahami seutuhnya peran sebagai takmir masjid. Maka banyaklah pengurus masjid yang mengurus secara sambilan. Jika ia masih usia produktif, maka sebagian besar waktunya pasti berada di kantor atau tempat bekerja, sisanya untuk keluarga, dan jika masih ada sisa waktu lagi, barulah untuk mengurus masjid. Jika ia tidak lagi diusia produktif, maka umumnya adalah pensiunan. Ia memliki lebih banyak waktu, tetapi tentu produktifitas telah jauh berkurang. Ia sepantasnya cukup menjadi jamaah yang tinggal menikmati layanan masjid dalam ibadah dan muamalah.

Maka dari itu sulit rasanya melihat masjid-masjid kita mampu melakukan perannya tidak hanya sebagai sarana ibadah tetapi juga menjadi pusat pembinaan masyarakat, pusat kebudayaan, pemberdayaan dan seterusnya jika perhatian kita kepada masjid masih perhatian dengan kadar sambilan. Jika sempat. Maka jangan heran jika wajah masjid kita saat ini adalah wajah masjid yang senantiasa ingin tampil baru secara fisik, tetapi jamaah yang setia mengisi adalah jamaah yang telah berusia senja.

Saya menjadi semakin yakin bahwa banyak masjid kita semakin indah bangunannya, semakin lengkap fasilitasnya dan semakin luas pelatarannya, tetapi semakin bingung Takmir mengelolanya. Pemahaman kebanyakan takmir kita masih sebatas pembangunan fisik. Padahal ada jenis pembangunan lain yang lebih penting dan mendesak. Membangun jamaah. Ya, sejauh ini fokus dan perhatian para takmir masjid kita adalah bagaimana membangun masjid yang besar, megah, fasilitas lengkap dengan harapan jika masjid besar dan nyaman, jamaah akan betah. Padahal masjid yang sedari awal tidak berorientasi membangun jamaah, tetap akan sulit mencari jamaah meski saat masjid itu memiliki bangunan yang megah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun